a. Politik
Perubahan dan dinamika politik di Indonesia merupakan salah satu warna lain dalam pendidikan Islam. Wacana di bidang politik ikut mempengaruhi kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan lembaga atau institusi pendidikan Islam. Persepsi positifnya adalah bila kebijakan-kebijakan tersebut mempunyai pengaruh yang bersifat rekonstruktif terhadap lembaga pendidikan Islam, maka “angin segar” menuju pembangunan pendidikan Islam yang dinamis dan progress dapat diharapkan. Namun, implikasi negatifnya adalah jika kebijakan-kebijakan dari para elit politik tersebut terkesan mengebiri vitalitas pendidikan Islam, maka konsekuensi logis yang diterima pendidikan Islam adalah keterkungkungan dalam kejumudan (stagnant). Karena Kebijakan di bidang politik ini juga berdampak pada pengalokasian dana terhadap lembaga pendidikan serta implementasi dari kurikulum sebagai panduan dalam pengembangan pendidikan Islam.
Selain itu, top rating sebagai institusi pendidikan Islam ikut memberikan pengaruh politik yang cukup signifikan. Tataran ekstremnya begini, jika para elit politik “mengendarai” nama besar institusi pendidikan Islam sebagai tunggangan politiknya, dan setelah hasrat politiknya terpenuhi dan keadaan lembaga pendidikan Islam tersebut tidak mengalami perubahan yang progresif, maka persepsi publik akan penuh dengan negatifitas terhadap lembaga tersebut. Realitas seperti ini dikhawatirkan memandulkan gerak pendidikan agama. Karena nalar kritis pendidikan agama didominasi oleh kepentingan politik yang tidak mempunyai positive influence terhadap lembaga pendidikan tersebut. Visi pendidikan Islam akhirnya sulit berubah.
b. Kebudayaan
Quo vadis lembaga pendidikan Islam di Indonesia di bidang kebudayaan adalah tingkat konservatif yang tinggi dan masih cenderung ekslusif. Padahal kita ketahui sendiri bahwa Indonesia terdiri dari berbagai suku, ras, bangsa dan agama. Konservatif memang diperlukan dalam menjaga internalisasi akidah Islam ke dalam jiwa insan. Namun, dalam hal ini penulis setuju dengan pemikiran Muhammad Arkoun bahwa konservatif yang negatif adalah sebuah apologia atau kebablasan. Tantangan di bidang kebudayaan adalah bahwa pendidikan saat ini belum inklusif, toleran, dan terbuka. Dalam kebudayaan, tantangan juga terletak pada mainstream kebudayaan kita yang cenderung rigid sehingga menciptakan output yang parsial, yaitu: pertama, memiliki kemampuan intelektual yang mampu menguasai poin-poin penting namun kurang mampu menghayati nilai-nilai agama. Akibatnya, seringkali berbagai hasil olah keterampilannya kurang memperhatikan nilai-nilai moralitas bahkan terkesan untuk memperkaya pribadi atau golongan tertentu. Kedua, memiliki kemampuan intelektual dan mampu menghayati nilai-nilai ajaran agama namun kurang mampu menguasai aspek-aspek kebudayaan. Ketiga, memiliki kemampuan intelektual yang mampu menguasai ajaran agama, akan tetapi tidak mampu menghayati nilai-nilai luhur sebagai substansi ajaran Islam. Akibatnya, muncul para “ulama” secara keilmuan, tetapi “menggadaikan” agama dalam praktik budaya dan kurang mampu melakukan rekonstruksi nilai-nilai budaya sesuai dengan ajaran Islam. Alhasil, seringkali terjadi pertentangan antara kebudayaan dan agama. Budaya dan agama terjadi tumpang tindah dan kontradiksi. Kurangnya sinergi yang baik antara kedua hal ini membuat pendidikan Islam tidak memberikan roh dalam kebudayaan bahkan terkesan sebagai justifikasi terhadap kebudayaan. Sedangkan kita tahu sendiri bahwa kebudayaan merupakan suatu hal yang paling melekat dalam kehidupan sehari-hari. Orientasi dari sekedar mendidik mereka untuk memahami ilmu (pengetahuan) agama an sich haruslah diubah menjadi paham terhadap ilmu agama sekaligus ilmu sosial, ilmu humaniora dan ilmu alam. Ilmu agama dan “ilmu duniawi” harus konvergen. Sayangnya lembaga pendidikan Islam terlalu lambat menyadari ketertinggalan ini. Tokoh pendidikan kita terlalu berpikir konservatif dan masih terjebak pada dikotomi antara pendidikan agama-pendidikan umum. Padahal dikotomi itu justru mematikan kreatifitas. Untunglah, dalam batas tertentu sebagian kecil yang berlatar pendidikan “sekuler” relatif lebih cepat menyadari kejumudan. Tidak heran, dewasa ini di perguruan tinggi umum diajarkan pula ekonomi Islam, sosiologi agama (Islam), psikologi Islam, antropologi agama (Islam) dan lainnya.
c. IPTEK
Teknologi modern telah memungkinkan terciptanya komunikasi bebas lintas benua, lintas negara, menerobos berbagai pelosok perkampungan di pedesaan dan menyelusup di gang-gang sempit di perkotaan, melalui berbagai perangkat multimedia. Toffler dalam The Thirth Wave, menyebutkan perkembangan arus teknologi dan ilmu pengetahuan sebaga salah satu gerbang menuju perkembangan umat. Contoh konkritnya adalah televisi, dapat dijadikan alat yang sangat ampuh di tangan sekelompok orang atau golongan untuk menanamkan atau, sebaliknya, merusak nilai-nilai moral, untuk mempengaruhi atau mengontrol mindset seseorang oleh mereka yang mempunyai kekuasaan terhadap media tersebut. Titik persoalannya adalah terletak pada siapa yang menguasai teknologi dan komunikasi global tersebut. Prediksi positifnya, jika alat-alat teknologi dan komunikasi global tersebut dikuasai oleh orang-orang muslim yang selalu menjaga nilai-nilai Islam, maka teknologi akan berdampak positif bagi perkembangan pendidikan Islam ke depan. Prediksi negatifnya, jika alat-alat teknologi dan komunikasi global serta ilmu pengetahuan berada di genggaman orang-orang yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam, maka akan terjadi distorsi dan blur antara baik dan buruk, kebenaran sejati maupun yang bersifat artifisial atau fasiq.
Selain itu, saat ini sangat identik dengan ilmu pengetahuan dan perkembangan teknologi yang pengkajiannya dilakukan dengan riset dan penelitian yang terus-menerus. Dengan jiwa keilmuan ini tentu saja para ilmuan telah memberikan kontribusi kepada seluruh dunia dengan harapan memberikan kebenaran dan membawa kemashlahatan. Namun, yang perlu dikaji ulang adalah kebenaran yang bagaimana jika dihasilkan dari orang-orang yang kadang terdapat diferensiasi ekstrem secara prospektif terhadap batasan-batasan etika, moral, dan internalisasi akhlak.
d. Ekonomi
Perkembangan di bidang ekonomi, secara makro tentu saja berkaitan dengan globalisasi. Sebagai dampak ketidak siapan menghadapi globalisasi di bidang ekonomi, Dunia sekolah yang semestinya mampu menjawab tantangan global, justru ikut-ikutan terpuruk. Sebagai laporan: Survei Angkatan Kerja Nasional menunjukkan, dari 10 juta penganggur usia kerja, 55 persen berpendidikan sekolah menengah (BPS, 2008). Rendahnya daya adaptsi lulusan sekolah memenuhi tuntutan pasar kerja kian menjadi persoalan mengatasi pengangguran. Data di atas merupakan gambaran ekonomi Indonesia dalam hal pendidikan. Dalam ruang lingkup pendidikan Islam, setidaknya ada dua perspektif yang penulis ajukan tentang tantangan pendidikan Islam di bidang ekonomi.
Pertama, dari perspektif pemerintah. Sektor ekonomi suatu negara tentunya digunakan sebagai backbone support bagi pengembangan segala sektor termasuk pendidikan. Rendahnya tingkat ekonomi suatu negara tentu akan berakibat kepada anggaran pendidikan. Anggaran pendidikan mempunyai hubungan paralel dengan kualitas pendidikan, khususnya dalam hal ini adalah pendidikan Islam. Jika anggaran besar maka kualitas meningkat. Ini silogisme yang dihasilkan. Dewasa inipun anggaran negara yang dicangkan untuk program pendidikan di negara-negara Islam relatif sangat rendah sehingga infrastruktur pendidikan yang mutlak diperlukan tidak atau jarang tersedia. Perbandingan dengan negara tetangga kita Malaysia, negara Islam yang relatif maju program pendidikannya ini, menurut UNESCO (1996) hanya mengalokasikan dana 82 $ US perkapita, sementara Indonesia sendiri hanya mengalokasikan 6 $ US perkapita. Hal ini menimbulkan dampak-dampak yang tidak efektif, seperti:
a. Pelajar yang hendak memperdalam ilmunya terpaksa harus pergi ke luar negeri yang biayanya relatif lebih mahal apalagi kalau tujuan belajarnya di negara-negara maju. Sementara kecenderungan belajar ke luar negeri ini menimbulkan persoalan tersendiri khususnya bagi mereka yang secara ekonomis kurang mampu.
b. Kurangnya anggaran untuk regulasi, administrasi, operasional, dan lain-lain akan sangat mempengaruhi kinerja pendidikan Islam.
Kedua, dari perspektif peserta didik dan orang tua. Lemahnya ekonomi orang tua tentu saja akan menjadi penghambat bagi peserta didik. Misalnya berkaitan dengan biaya-biaya serta fasilitas yang dimiliki.
e. Kemasyarakatan
Paradoks lainnya berkaitan dengan stigma baru yang mendera lembaga-lembaga pendidikan agama. Dewasa ini lembaga pendidikan Islam mendapat citra baru, yakni mengajarkan radikalisme. Padahal kalau diperiksa tidak semua pesantren mengajarkan pendidikan dengan orientasi yang mengarahkan peserta didik berbuat radikal. Islam agama damai dan menyejukkan (hanif) mesti tetap menjadi pesan pokok pengajaran mulai dari tingkat ibtidaiyah sampai perguruan tinggi. Radikalisme dalam pengajaran biasanya memunculkan radikalisme dalam tindakan. Tantangan lain di bidang kemasyarakatan adalah konformisme. Konformisme adalah merasa puas dengan keadaan sekarang. Sikap cepat puas masyarakat terhadap suatu lembaga pendidikan membuat daya kreatifitas suatu lembaga pendidikan Islam menjadi gundul. Dalam artian, pendidikan Islam dapat kehilangan “roh” dinamis dan cenderung bergerak lamban.
Selain hal di atas, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap suatu lembaga pendidikan juga menjadi factor berkembang atau tidaknya suatu lembaga pendidikan Islam. contoh faktualnya: asumsi publik bahwa lembaga pendidikan Islam merupakan lembaga pendidikan kelas dua setelah lembaga pendidikan umum. Persepsi ini bukan tanpa alasan. Realitas praktisnya, lembaga pendidikan Islam cenderung mengandalkan dasar-dasar agama saja sebagai bekal kehidupan peserta didik di masyarakat. padahal, hal tersebut tidaklah cukup. Perlu adanya elaborasi nilai-nilai Islam yang disinergikan dengan ilmu-ilmu sosial lainnya, sehingga mampu menciptakan peserta didik yang mumpuni dari segi sosial kemasyarakatan namun tetap terintegral dengan nilai-nilai ajaran Islam.
Pendidikan dasar agama masih menjadi andalan, sebagai bekal mengajarkan pendidikan agama lebih lanjut kepada masyarakat, akan tetapi hal ini saja tidak cukup. Harus diikuti dengan bekal pengetahuan lainnya yang kontekstual dengan perkembangan sosial. Sekalipun di lembaga tertentu ada pembaruan kurikulum, namun sifatnya masih parsial. Secara keseluruhan kurikulum pendidikan Islam masih konservatif. Implikasinya sangat serius ketika para lulusannya (SDM) menghadapi perubahan di luar dunia pendidikan mereka. Dunia ini jauh lebih kompleks daripada yang mereka pelajari dan bayangkan selama berada di tempat belajar-mengajar tadi. Pluralitas sosial dan kemanusiaan di tengah masyarakat membuat mereka gagap. Indonesia yang mereka diami rupanya sebuah entitas yang berwarna.
f. Sistem nilai
Ketika berbicara mengenai tantangan lembaga pendidikan Islam pada sistem nilai yang berlaku, maka masalah sebenarnya adalah sejauh mana kontribusi lembaga pendidikan Islam mampu menghasilkan sumber daya manusia yang mampu dalam mengcover seluruh kehidupannya bernafaskan risalah Islam yang luhur. Sistem nilai sangat berkaitan dengan transformasi sosial-budaya yang berkembang. Saat ini pendidikan Islam (sebagian besar) hanya mampu mendominasi pada tataran teoritik, pendidikan Islam dipandang hanya mampu menghasilkan “ulama” dalam artian tradisional. Kosmologi mediasi ini membuat sumber daya manusia dari lembaga pendidikan Islam kurang “greget”.
Sikap moderasi, di satu sisi, menghendaki pendidikan Islam tidak terjatuh dalam sikap ekstremitas pemikiran maupun tindakan yang bisa mengakibatkan ekses-ekses kontraproduktif bagi masyarakat, negara dan bangsa. Hal ini jelas merupakan sebuah modal sosial-budaya (socio-cultural capital) yang telah menjadikan mereka survive dalam kerasnya percaturan kehidupan, sekalipun dituding oleh “musuh-musuh” mereka dan sejumlah ilmuwan sebagai bentuk sikap oportunistik. Sikap semacam inilah yang dipuji oleh banyak pihak sebagai kelenturan pendidikan Islam dalam menghadapi berbagai tantangan dan cobaan dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun demikian, proses pengerdilan, pengeroposan dan pembusukan nilai selalu terjadi dalam proses-proses sosial-budaya. Pembusukan itu terjadi pada pereduksian makna moderasi itu sendiri yang seringkali mengebiri “libido” lembaga pendidikan Islam untuk menjadi yang terbaik dalam seluruh proses kontestasi. Dalam ungkapan yang sederhana, proses pembusukan itu terjadi ketika kosmologi moderasi berubah menjadi mediokrasi, di mana kapasitas produk dari model pendidikan Islam dianggap menempati “kelas dua” karena tidak bisa bersaing dengan produk dari lembaga-lembaga sekuler.
Dalam derajat tertentu, kosmologi moderasi dalam tubuh lembaga pendidikan Islam banyak diilhami oleh doktrin-doktrin Aswaja yang sudah kesohor seperti: filosofi “jalan tengah” (tawassut), berdiri tegak lurus, tidak condong ke kanan maupun ke kiri (i’tidal) dan keseimbangan (tawazun). Sikap-sikap semacam inilah yang belakangan memola dan membentuk karakter kepribadian lembaga pendidikan Islam dalam banyak aspeknya, sekalipun variasi dan pengecualian-pengecualian bisa saja ditemukan di antara mereka.
Lagi-lagi, ancaman pengeroposan karakter lembaga pendidikan Islam bisa saja terjadi jika lembaga pendidiakn Islam tidak dewasa dan bijaksana dalam mengimplementasikan doktrin tersebut. Konsekuensi lebih jauh dari proses pengeroposan dimaksud bisa kita saksikan, misalnya, dalam lemahnya lembaga pendidikan Islam untuk mengambil inisiatif perubahan dalam sejumlah sektor di kehidupan publik. Akibatnya, potensi lembaga pendidikan Islam yang begitu besar tidak terblow-up secara maksimal menjadi sebuah dentuman sosial-intelektual yang menggetarkan urat nadi kehidupan bangsa. Memang ada sejumlah deviasi kasus dan pengecualian, tetapi prosentasenya sangatlah kecil. Dengan kata lain, kosmologi moderasi menciptakan manusia-manusia dengan kualitas sumber daya manusia medioker yang tertinggal dari komunitas lainnya. Doktrin moderasi, pada gilirannya, berakumulasi menjadi mediokrasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar