Kamis, Juli 29, 2010

Fungsi-fungsi Fundamental (spekulatif, kritik, teoritik) dalam Wacana Filsafat Pendidikan Islam

Pendidikan Islam saat ini memberikan sinyalemen bahwa kontribusi kultural dan intelektual kaum muslim sebagai kesatuan bangsa muslim terbesar masih jauh di bawah proporsinya (la yahya wa la yamuutu). Hal ini sangat jelas dari aspek performance dan peran pendidikan Islam yang cenderung memunculkan traditional scriptualism; sikap keberagamaan yang cenderung pada legalisme (formalisme syariat), “salaf sentris”, yang akibatnya adalah penciptaan masyarakat yang lebih berpegang teguh pada ortodoksi. Sementara di sisi lain, filsafat mendapatkan porsi yang sedikit secara proporsi. Bahkan lebih ekstrem lagi, sebagian subjek pendidikan Islam kita terjangkiti sikap parokialistik; sikap menolak segala sesuatu yang tidak berasal dari kaum mereka sendiri. Kausalitas konkritnya: seorang santri yang cerdas menimba ilmu dari pesantren, Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsawaniyah, Madrasah Aliyah kemudian melanjutkan ke perguruan tinggi Islam sebut saja misalnya: STAIN, IAIN, UIN. Setelah menyelesaikan sarjana S1, S2, atau S3, mengabdi di lembaga pendidikan Islam yang sejenis. Pola homo-institusi ini sangat mungkin terjadi.
Tanpa menafikan lembaga pendidikan Islam, namun melihat realitas kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini, jelas sekali.... sangat sedikit lulusan lembaga pendidikan Islam yang menempati posisi-posisi strategis di dalam pemerintahan, dimana kebijakan suatu bangsa dan negara banyak ditentukan dari bidang pemerintahan, politik, ekonomi. Padahal jelas, alumni lembaga pendidikan Islam mempunyai daya saing ditinjau dari kualitas bahkan memiliki kelebihan baik IQ, EQ, dan SQ (tiga hal yang membuat manusia menjadi dewasa). Kondisi ini terjadi sebagai akibat dari kurangnya peranan pendidikan Islam di Indonesia di masa lalu. Dimana pendidikan Islam di masa lalu (khususnya Indonesia) mempunyai wajah baru namun “orang lama”. Pendidikan Islam terjebak dalam konformitas. Perasaan puas terhadap hegemoni Islam di masa kejayaannya yang membuat lengah dalam menatap masa depan dengan lebih tajam, optimis, dan penuh semangat yang tinggi. Kajian-kajian Islam lebih memfokuskan diri pada rekodifikasi terhadap ilmu-ilmu di masa lalu sehingga kurang kontekstual dengan masa sekarang. Singkatnya, ilmu-ilmu tersebut terasa usang karena yang dilakukan bukannya internalisasi nilai-nilainya, namun sekedar bernostalgia terhadap hegemoni Islam di masa lalu.
Walaupun tak sepenuhnya analisis di atas benar, asumsi-asumsi yang berkembang sangat mempengaruhi secara kultural dan mempengaruhi secara individu. Seperti asumsi: pemerintahan dan politik merupakan “barang haram” untuk disentuh. Asumsi ini berkembang sebagai reses dari historis-kultural dampak negatif dari miss-interpretation terhadap gerakan tasawuf seperti: zuhud, fana. Mengkritik problematika ini, penulis ingin meminjam istilah Nurcholis Majdid, “sekulerasi”. Pembebasan nilai-nilai dari mengukhrowikan dunia. Sekulerasi bukan membuat orang menjadi sekularis. Ide ini relevan dengan kondisi pendidikan Islam yang saat ini: terpinggirkan, terdiskriminasi dengan konotasi terbelakang dan ortodoks, dan orientasi praktik ritual keagamaan dan dikotomis.
Dari kondisi pendidikan Islam di atas, penulis hendak menyampaikan telaah kritis terhadap performance pendidikan Islam. Pertama, masalah materi dan muatan pendidikan Islam. Kecenderungan saat ini, materi pendidikan Islam hanya menekankan dimensi teologis dalam pengertian sempit dan ritual ajaran agama. Kajian-kajian teologis berkutat pada persoalan ketuhanan yang bersifat mistik-ontologis dan tidak berhubungan sama sekali dengan realitas kemanusiaan. Padahal, seperti yang dikatakan Dr. Yusuf Qardhawi: Al-Qur’an adalah kitab manusia, karena al-Qur’an seluruhnya berbicara untuk manusia atau berbicara tentang manusia. Iman sebagai kajian utama dalam pendidikan Islam lebih banyak diorientasikan pada upaya-upaya mempertahankan akidah sehingga tidak membuahkan kekayaan wacana dan pengayaan spiritual, etika dan moral. Sehingga cukup beralasan adanya sinyalemen yang mengatakan bahwa pendidikan Islam masih dalam posisi “cagar budaya” untuk mempertahankan paham-paham keagamaan tertentu.
Kedua, masalah yang berkaitan dengan kerangka metodologi. Pendidikan Islam memang memang seringkali masih terpaku pada model konvensional yang lebih menekankan penggunaan metode ceramah yang cenderung monolog dan doktrinatif, yang lebih mementingkan memori daripada analisis dan dialog. Hal ini terjadi karena pengetahuan yang disampaikan kepada peserta didik bukan dalam bentuk “proses” yang mengapresiasi pemahaman, penalaran, dan pelatihan, melainkan dalam bentuk “produk” yang menekankan hafalan dan mengganggap suatu ilmu telah selesai, final dan mapan. H.A.R Tilaar menyebutnya dengan budaya intelektualisme dan verbalisme. Pendekatan semacam itu dikategorikan sebagai pendekatan doktriner-literal-formal.
Ketiga, masalah dis-integrasi pendidikan Islam, dalam arti dualisme-dikotomis. Pendidikan Islam jarang dikaitkan dengan disiplin keilmuan lainnya. Kecuali penekanan yang tidak proporsional terhadap dimensi teologis dan ritual semata. Parahnya lagi, pendidikan Islam jarang sekali dijelaskan dari sudut pandang disiplin ilmu lain seperti: filsafat, antropologi, psikologi, ekonomi. Bisa disebut pola pendidikan Islam sekedar dipahami sebagai pola “pengajian”, bukan “pengkajian” ataupun studi Islam yang perlu menyertakan disiplin ilmu lain dalam menjelaskan ajaran dan fenomena keagamaannya. Pendidikan Islam masih disajikan secara fragmentaris sehingga belum mampu memadukan hubungan fungsional-integral atau belum memadai dalam memadukan secara harmonis antara pendekatan doktriner dengan pendekatan saintifik sehingga terasa hampa kandungan fungsional-praktisnya.
Pendidikan Islam merupakan bentuk hubungan paling esensial dalam kehidupan manusia sehingga fungsi dan peranannya dalam kehidupan yang terus-menerus berubah akan tetap langgeng, meski banyak gugatan. Fazlur Rahman menyebutnya dengan merosotnya intelektualisme Islam sebagai akibat kemandulan pendidikan Islam. Ada beberapa wacana yang dapat ditawarkan menanggapi permasalahan tersebut.
Pertama, penelusuran jejak masa kejayaan Islam dengan pendekatan filosofis-historis dengan kerangka dasar wawasan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Mengkaji langkah-langkah serta metodologi yang digunakan, analisis kondisi sosiologis-psikologis-antropologis saat itu akan membantu pendidikan Islam dalam memahami nilai-nilai strategis yang dapat diambil inti sarinya untuk dikemas secara konstruktif.
Kedua, karena pendidikan Islam terkait erat dengan dimensi praksis-sosial yang senantiasa memiliki dampak sosial dan dituntut untuk responsif terhadap realitas sosial dan tidak terbatas pada lingkup pemikiran teoretis-konseptual, maka-meminjam ide Hassan Hanafi-perlu adanya transformasi dari tataran teologi-normatif ke tataran rasional-proaktif. Dimana teks-teks atau dogma agama harus dipahami dan mempunyai tanggung jawab sebagai social determinance. Pendidikan Islam sebagai matrik konseptual aktivitas kultural-performatif, yang berkaitan langsung dengan dinamika praksis sosial-budaya, perlu secara progresif mempertegas jati diri keberpihakan pada tindakan penyadaran dan pemberdayaan. Determinasi sosial ini berkaitan dengan budaya. Memahami budaya identik dengan kemajemukan, maka sikap toleransi, terbuka, inklusif sangat diperlukan. Dalam kajian Pendidikan Islam Integralistik, perlu adanya pemaduan secara sinergis-dialektis antara epistemologi bayani, irfani dan burhani dalam struktur hierarkis dalam kerangka humanisasi, liberasi, dan transedensi dengan tujuan menghindari keterjebakan dalam kubangan dualisme dikotomik keilmuan secara berkelanjutan, reduksi spektrum keilmuan, dan diharapkan mampu melakukan kontekstualisasi dinamis-konstruktif seiring akselerasi dinamika sosial-budaya karena formulasi pendidikan Islam yang telah dihasilkan tidak dipandang sebagai produk final, atau sebagai “Ketaatan yang selesai”. Singkatnya Pendidikan Islam dalam kerangka multikultural yang dinamis-integralistik berlandaskan nilai-nilai islami merupakan wacana solusif yang dapat penulis kemukakan dalam membenahi pendidikan Islam yang benar-benar mampu menjadi sentral dari segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar