Selasa, Maret 31, 2015

Michel Foucault Teknologi Politik Tubuh; Meninjau Disiplin di Sekolah

Mencandra wacana pendisiplinan di sekolah, tentunya hal ini memiliki dua wajah (ambiguitas). Di satu pihak dapat berujung dengan produktivitas (disiplin-positif), pada sisi lainnya dapat berujung pada kenaifan (disiplin-negatif). Kontradiksi ini menimbulkan berbagai pertanyaan seputar term ‘disiplin’ seperti apa disiplin itu sebenarnya? Siapa saja yang berkepentingan terhadap disiplin? Apa tujuannya? Mengapa harus ada disiplin? dan berbagai pertanyaan lainnya seolah-olah berputar-putar di benak kita. Menjawab beberapa pertanyaan di atas, mengusulkan pemikiran seorang filsuf Perancis Michel Foucault dalam karyanya Dicipline and Punish (1976)menjadi relevan. Teknologi Politik Tubuh dibalik Bilik Sekolah Bagi Foucault, sekolah merupakan salah satu institusi yang berkaitan dengan praktik-praktik, mekanisme pendisiplinan dan kekuasaan yang berkepentingan dengan masalah “mengurus tubuh”. Sejarah hukuman pun lebih menekankan pada penyiksaan tubuh. Semakin sadis dan semakin menghancurkan tubuh, maka hukuman itu semakin dianggap efektif. Selain itu, pada mulanya hukuman memang dipublikasikan kepada masyarakat sebagai sebuah tontonan. Hal ini bertujuan untuk memberikan siksaan kepada tubuh subjek dan memberikan efek pelajaran kepada masyarakat agar tidak mengikuti jejak si terhukum. Namun pada era sekarang, hukuman tidak lagi berupa penyiksaan yang intens terhadap tubuh. Penyiksaan terhadap tubuh dianggap oleh umum sebanyak perbuatan yang tidak berprikemanusiaan. Selain itu, hukuman fisik ini sering mendapatkan resistensi dari publik dan pihak-pihak yang bersimpati terhadap korban. Oleh karenanya, hukuman mengalami pergeseran sasaran, dari sasaran penyiksaan tubuh beralih ke pembentukan kepatuhan tubuh. Inilah yang disebut Foucault dengan teknologi politik tubuh atau teknologi biopolitik. Teknologi politik tubuh merubah bentuk hukuman menjadi suatu pendisiplinan yang tidak lagi menyiksa tubuh, namun membuat tubuh menjadi patuh dan berguna sehingga memiliki daya produktivitas. Setidak-tidaknya ada tiga signifikasi dalam perkembangan teknologi politik tubuh. Pertama, teknologi menghukum berubah dari bentuk yang amat kasar dan sadis menjadi lunak dan semakin tidak menyentuh tubuh, bahkan berkembang ke arah normalisasi dan proyek korektif. Dalam hal ini, terjadi pergeseran dari ‘tubuh yang disiksa’ menjadi ‘tubuh sebagai instrument atau media’. Pengurangan rasa siksa terhadap tubuh dialihkan kepada proses normalisasi subjek seperti misalnya siswa tidak lagi dipukul tubuhnya, namun siswa tersebut harus melakukan serangkaian program pembiasaan diri. Dalam hal ini, kehendak untuk mengoreksi lebih dominan daripada kehendak untuk menyiksa. Kedua, perubahan ini disertai dengan perkembangan pengetahuan atas individu. Maksudnya, pergeseran sasaran diatas tampaknya lebih memperhatikan ‘kemanusiaan’. Dalam hal ini aspek-aspek kejiwaan, diagnosis medis, tataran norma masyarakat, regulasi legal-formal, dan segala tata nilai-pengetahuan lebih digunakan sehingga program-program pendisiplinan lebih legitim. Namun, Foucault memiliki cara pandang yang lain terhadap hal ini. Menurutnya, yang terjadi sebenarnya hanya perubahan sasaran. Bila hukuman tidak lagi menyentuh tubuh, lalu apa yang disentuh? Jelas sekali jawabannya, yakni ‘jiwa’. Ketiga, perkembangan pengetahuan ini memang tidak terpisah dengan mekanisme ‘penaklukan’, tetapi penaklukan ini menjadikan individu yang ‘patuh dan berguna’. Dalam hal ini, hukuman harus ditempatkan bukan hanya sebagai mekanisme negatif seperti menekan, menghalangi, melarang, menghilangkan kejahatan, tetapi harus dikaitkan juga dengan serangkaian mekanisme pelatihan, pengontrolan, pembinaan yang membawa dampak positif dan berguna. Ketiga signifikasi diatas mengandaikan adanya relasi-relasi kuasa pengetahuan (yang kadang-kadang arbiter) atas nama ‘semua ini demi kebaikan siswa’ yang mensyaratkan diberlakukannya oposisi biner seperti normal /tidak normal, kategori cerdas/bodoh, patuh/nakal, berbakat/tidak berbakat, kaya/miskin, dan berbagai konstruksi sosial lainnya. Jelas bahwa dalam hal kreativitas, teknologi politik tubuh lebih cenderung ‘membatasi gerak’ daripada ‘mendorong gerak’. Inilah suatu bentuk lain dari ‘penghukuman’ di era postmodern, baik disadari ataupun tidak. Panopticon sebagai Mekanisme Disiplin di sekolah Perubahan bentuk hukuman di sekolah sebenarnya sama dengan perubahan bentuk hukuman di masyarakat seperti yang dipaparkan di atas. Beberapa masih ada pihak (sekolah, orang tua, guru) menggunakan kekerasan fisik untuk ‘mendidik’ anak. Hubungan patron-klien ini biasanya diterapkan oleh sekolah-sekolah yang berideologi konservatif yang lebih mengedepankan hukuman fisik untuk mendidik. Seperti misalnya: memikul, mencubit, menarik rambut, menyuruh berdiri di depan kelas, bahkan sampai menyuruh anak melakukan push up atau sit up sebagai ganjaran atas ketidak patuhan (ketidakdisiplinan) mereka terhadap perintah guru. Guru merasa memiliki kekuasaan sehingga seolah-olah dapat berlaku apa saja. Nietzsche menyebut ini sebagai ‘aristokrasi universita’ (kesewenangan kaum berpengetahuan). Namun bukan itu masalahnya, kebanyakan hukuman itu dilandasi oleh sebuah logika ‘agar siswa menjadi jera dan tidak mengulangi perbuatannya’. Tindakan ini juga dilakukan agar siswa tidak berbuat hal yang sama. Selain itu, hukuman ini juga bertujuan agar siswa menjadi malu di depan teman-temanya karena hukuman ini lebih sering dilakukan di tempat terbuka yang dapat ditonton oleh banyak siswa. Ada unsur hiburan juga bagi yang menonton, malahan yang ditonton juga merasa senang dia ditonton oleh banyak orang. Kadang-kadang juga secara tidak langsung menumbuhkan ‘hasrat tirani’ (rasa ingin mengejek, menindas, menghina, dan merendahkan, menertawakan) bagi siswa lain yang menonton. Bagi Foucault, pendisiplinan seperti ini sama dengan hukuman narapidana di zaman pramodern, yang mengutamakan kekerasan fisik dan dilakukan di depan publik. Lagipula, pendisiplinan seperti ini mendapat banyak pertentangan dari bidang lainnya seperti psikologi, hukum, HAM, dan kesehatan. Berbekal teknologi politik tubuh, Pendisiplinan modern menawarkan suatu pendisiplinan sebagai sebuah proses kontrol diri diri yang ditanamkan guru kepada siswanya sekaligus merupakan bentuk pembinaan moral. Kemudian pendisiplinan berevolusi menjadi sebuah tindakan administratif dalam proses rasionalisasi sistem pembelajaran yang bersifat preventif. Mekanisme disiplin mengalami pergeseran dari spektakuler tindak kekerasan fisik menjadi mekanisme pendisiplinan tubuh menjadi sesuatu yang harus dilatih dan diperbaiki untuk jangka panjang. Foucault kemudian menyebutnya sebagai sistem Panopticon (pan=semua, opticon=melihat, mengawasi). Panopticon merupakan suatu mekanisme pengawasan yang dibantu oleh bidang ilmu lainnya seperti: bidang arsitektur agar memudahkan pengawasan aktifitas di gedung sekolah; bidang administrasi dan manajemen melalui dokumentasi absensi siswa, fortofolio, jurnal kelas untuk mengecek kehadiran siswa, sistem pendaftaran siswa, pengarsipan laporan kemajuan akademik, tata tertib, jadwal, sistem ulangan, sistem ujian, kategori kelas; bidang teknologi melalui CCTV sebagai polisi digital; dan sebagainya. Singkatnya, segala harus mempunyai standar sehingga siswa mudah diawasi dan dibentuk. Mendiskusikan Pegagogi Kita Dalam analisis Foucault, tipe pendisplinan seperti ini tidak banyak berubah secara substansi. Dengan analisis terhadap teknologi politik tubuh, ia menilai kadang-kadang pihak-pihak yang berkepentingan justru mendapat keuntungan yang jelas. Komoditisasi sekolah jelas lebih menguntungkan pihak-pihak perusahaan elektronik, pengembang teknologi informasi, pasar global. Standardisasi lebih menguntungkan konsultan pendidikan, rumah sakit dan psikiater, lembaga pemberi label standar, lembaga bimbingan dan pelatihan, kursus-kursus, penyelenggara program, birokrat, lembaga Negara, dan akhirnya pemilik modal yang membutuhkan ‘tubuh yang telah patuh’ itu untuk meningkatkan produktivitas modal dan pundi-pundi oligarkisnya. Sistem Panopticon ini akan menghasilkan ‘mesin yang patuh’, ‘mesin yang produktif’, ‘tubuh ideal yang bernilai ekonomis’, ‘mesin industri’, ‘mesin pencari uang’. Memang, kecutnya analisis di atas tidak membuat kita bisa mengabaikan program pendisiplinan walaupun ambigu. Pedagogi kita memang harus selalu direformasi menuju pedagogi kritis yang membebaskan. Pedagogi kita harus selalu dikritisi. Proyek Pendisplinan harus selalu didiskusikan. Pengawasan masyarakat sosial harus didorong dan dimobilisasi agar lebih fleksibel. Kontradiksi kebebasan menentukan nasib siswa sendiri dan disiplin di pihak lainnya harus terus digodok dalam ruang kelompok diskusi guru, pemangku kebijakan, dan masyarakat sosial. Sehingga nantinya sekolah memang sebagai lingkungan terbaik untuk melakukan humanisasi manusia.***