Kamis, Juli 29, 2010

“Pendidikan Islam berwatak dinamis dan bagian integral dari konsep tentang kehidupan yang lahir dari risalah Islam”

Upaya besar membangun pendidikan Islam di era global tercermin dengan salah satu langkah strategis “Pendidikan Islam berwatak dinamis dan bagian integral dari konsep tentang kehidupan yang lahir dari risalah Islam”. Sebelum menentukan langkah alternatif dari langkah strategis di atas, ada baiknya penulis menghadirkan potret pendidikan Islam saat ini.
Pendidikan agama selama ini mengharuskan peserta didiknya tidak boleh ada kesalahan. Padahal, seorang pribadi itu tunduk ketika ada pengalaman salah. Akibatnya, pendidikan agama cenderung melahirkan mental hetenomi. Artinya, kebaikan tidak tumbuh secara autentik dari dalam, tetapi kebaikan itu ditandai dengan ketundukan. Hal semacam ini tidak memberi peluang kepada peserta didik untuk melakukan trial and error. Pendidikan Islam saat ini lebih bersifat verbalistis yang menekankan pada aspek indoktrinasi dan penanaman nilai ala kadarnya daripada penumbuhan daya kritis dan pengembangan intelektualisme. Karena sifatnya yang doktriner, maka “perbuatan salah” dianggap sebagai suatu “dosa”. Pendidikan semacam ini, di satu sisi memang dapat mendorong anak untuk menjadi orang yang santun, tunduk pada perintah dan bertingkah laku mulia. Namun di sisi lain, penumbuhan daya kritis dan pengembangan kreativitas berpikir anak akan menjadi terabaikan. Pendidikan Islam yang seperti ini akan melahirkan sosok peserta didik yang parsial, yaitu:
a. Tidak memiliki kecerdasan intelektual dan spiritual karna yang ada di depan mata hanya berupa aturan-aturan rigid yang mengikat, sehingga daya gerak intelektualnya menjadi terbatas. Dalam situasi demikian, pendidikan Islam menjadi jauh dari pergulatan intelektual. Sebaliknya, ia hanya menjadi sarana untuk menanamkan nilai-nilai yang hasilnya juga masih diragukan.
b. Tidak memiliki pemahaman keagamaan yang terbuka, toleran, dan inklusif. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari model pengajaran doktriner. Sifat dari pengajaran doktriner adalah penumbuhan kesetiaan secara taken for granted atas agama, karenanya konservatisme menjadi tak terhindarkan, bahkan jiwa integral dan kritis menjadi jauh.
Menghindari dari output seperti yang disebutkan di atas, maka pendidikan Islam yang berwatak dinamis dan bagian integral dari konsep tentang kehidupan yang lahir dari risalah Islam di era modern sebagaimana saat ini, dalam dimensi horizontal umat beragama harus “memberanikan diri” untuk berdialog dan bertukar pikiran dalam persoalan horizontal dengan siapa saja. Dengan membuka diri terhadap kultur yang dibangun oleh pemeluk lintas agama dan tetap mempertahankan substansi ajaran agama yang diyakini, seseorang akan tetap menjadi kritis baik dalam filsafat, membangun budaya, dan lain-lainnya. Pemahaman ini penting untuk membangun integralisasi, dan dinamika kemanusiaan, bahkan membangun kebersamaan dan keharmonisan kehidupan umat beragama di muka bumi. Namun, kebebasan berpikir dalam rangka pendidikan Islam yang dinamis ini tetap mengacu pada kaidah ajaran Islam, bukannya berpikir dan berkarya yang apologi atau bahkan kebablasan. Jelas sekali bahwa pendidikan Islam yang progress secara horizontal sangat urgen. Dalam hal ini, pemahaman positif terhadap wacana ini merupakan suatu keharusan, bukan saja karena tuntutan objektif dari realitas kehidupan modern, karena pendidikan Islam yang berwatak dinamis ini merupakan manifestasi dari risalah Islam sebagai pembawa nilai-nilai rahmatan lil’alamin. Hanya saja dinamisasi pendidikan Islam perlu dibatasi hanya menyangkut persoalan peradaban umat manusia dan kehidupan sosial (human relation) antar umat yang tidak bertentangan dengan “titah” Allah sesuai dengan pesan yang terkandung dalam surah Al-Kafirun 1-6.
Pendidikan Islam yang doktriner dan parsial sangat kontradiktif dengan konsep pendidikan Islam yang integral, sebagai instrument strategis bagi upaya pengembangan potensi kemanusiaan, maka dalam batasan ideal, pendidikan merupakan sebuah proses pembebasan manusia dari segala bentuk belenggu, sesuai dengan batas-batas yang diberikan Allah untuk ruang jelajahnya. Oleh karena itu, pendidikan Islam yang doktriner merupakan proses penciptaan belenggu yang cukup fatal bagi tumbuhnya dinamika Intelektual, emosional, dan spiritual seorang peserta didik. Integralisasi pendidikan Islam dapat dilakukan dari tahap yang paling fundamental, yaitu transformasi nilai-nilai teologi yang biasa bersifat normatif menjadi nilai-nilai kehidupan yang proaktif, dinamis, rasionalisasi nilai-nilai tersebut dalam setiap kehidupan sebagai manifestasi risalah Islam. Akhirnya, Langkah-langkah alternatif yang dapat dilakukan dalam membangun paradigma pendidikan Islam yang berwatak dinamis dan dan bagian integral dari konsep tentang kehidupan yang lahir dari risalah Islam diantaranya : pertama, Menata kembali sistem pendidikan Islam yang tidak parsial. Jalan yang dapat ditempuh adalah pada saat proses pembelajaran dilakukan. Tatkala proses pembelajaran dilaksanakan, harus dikaitkan juga dengan dimensi religius peserta didik. Kedua, pembinaan dan peningkatan kompetensi pendidik secara simultan melalui proses yang baik. Ketiga, melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi ulang sistem pendidikan dengan roh ajaran Islam, baik dalam tatanan teoritis, historis, maupun praktis.
Oleh karena itu jelaslah bahwa yang dimaksud dengan pendidikan Islam yang berwatak dinamis dan bagian integral dari konsep kehidupan yang lahir dari risalah Islam di sini bukanlah dalam arti pendidikan ilmu-ilmu agama Islam yang pada gilirannya mengarah pada lembaga-lembaga pendidikan Islam semacam madrasah, pesantren atau UIN. Akan tetapi yang dimaksud dengan pendidikan Islam di sini adalah menanamkan nilai-nilai fundamental Islam kepada setiap Muslim terlepas dari disiplin ilmu apapun yang akan dikaji.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar