Kamis, Desember 16, 2010

PETA PEMIKIRAN TOKOH: K.H. ABDURRAHMAN WAHID (GUS DUR)

BAB I
PENDAHULUAN


a. Latar Belakang Masalah
Salah satu jenis penelitian sejarah adalah penelitian biografis, yaitu penelitian terhadap kehidupan seorang tokoh dalam hubungannya dengan masyarakat; sifat, watak, pengaruh pemikiran dan idenya, serta pembentukan watak tokoh tersebut selama hayatnya.
Dalam kajian studi Islam, wilayah garapan studi tokoh merupakan salah satu bidang yang sangat memberikan pengaruh, baik terhadap interpretasi terhadap pemikiran tokoh tersebut maupun implikasi pemikirannya untuk dijadikan acuan dalam pengembangan studi berikutnya.
Di Indonesia, nama K.H. Abdurrahman Wahid (selanjutnya dipanggil Gus Dur ) sudah tidak asing lagi. Baik sebagai intelektual muslim, mantan presiden ke-4 RI, tokoh pluralis, HAM, budayawan, dan masih banyak lagi predikat yang disandang oleh tokoh ini. Banyak orang khususnya masyarakat di Indonesia pada umumnya- mengenal tokoh ini sebagai mantan presiden RI, sedangkan di dunia internasional, Gus Dur dikenal karena diakui sebagai tokoh pemikir Islam yang cukup berpengaruh. Kesuksesan dan kebesaran tokoh ini tak bisa dilepaskan dari dua lingkungan, pesantren dan Nahdlatul Ulama. Kedua lingkungan inilah yang kemudian kelak memberikan warna tersendiri terhadap pandangan-pandangannya tentang keislaman, budaya, sosial, ekonomi dan politik yang mendorong kontribusi Islam pada pluralisme, keadilan sosial, dan demokrasi, HAM, dan lain-lain. Pandangannya tentang pentingnya watak kosmopolitan dalam peradaban Islam banyak dipengaruhi oleh literatur keilmuan klasik. Hal ini tentunya mengisyaratkan bahwa wawasan keilmuannya tidak diragukan lagi.
Pada sisi pemikiran, sejak terpilih sebagai Ketua Umum Tanfidhiyyah PBNU pada tahun 1984, Gus Dur telah menjadi salah seorang intelektual muslim Indonesia yang sangat berpengaruh dan diperhitungkan. Hal ini bukan saja didukung oleh posisinya di NU sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia, bahkan di dunia, melainkan juga karena percikan-percikan pemikirannya yang progresif tentang Islam, pluralisme, Pancasila, dan demokrasi. Douglas E Ramage, Greg Barton, Adam Schwarz, Mitsuo Nakamura, dan Einar M. Sitompul, secara umum—meskipun tersirat—sepakat menyebutnya sebagai salah seorang intelektual Indonesia yang paling berpengaruh dalam diskursus pemikiran Islam kontemporer dengan corak pemikiran Islam yang kritis dan progresif.
Bagi saya, Gus Dur adalah sesuatu yang menarik dan sangat berarti bagi pengayaan intelektualisme Indonesia dan catatan biografi sosio-politiko-intelektual seorang pemikir dan pejuang demokrasi di Indonesia. Hipotesis bahwa Gus Dur adalah tokoh multidimensi—sebagai agamawan, politikus, politisi, budayawan, feminis, dan sufi—hanya bisa diungkap dalam keseluruhan peta pemikiran dan gerakan sosial di Indonesia.
Signifikansi di atas, cukup memberikan alasan yang reasonable bahwa tokoh ini layak diangkat dalam studi pemikiran Islam, terutama dalam pembahasan pemikiran modern dalam Islam. Tentunya, dari sini akan menjadi jelas mana dimensi ontologis dan epistemologis pemikiran Gus Dur—yang oleh beberapa ahli filsafat ilmu bisa bebas nilai—dan mana dimensi aksiologisnya yang tidak bisa mengabaikan sistem nilai di mana pemikiran itu hendak diterapkan.

b. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, dapat diajukan beberapa pertanyaan sebagai rumusan masalah, yakni:
1. Bagaimana latar belakang kehidupan Gus Dur?
2. Apa tema pokok pemikiran Gus Dur?

BAB II
LATAR BELAKANG INTELEKTUAL K.H ABDURRAHMAN WAHID


a. Sketsa Sosiobiografi Gus Dur
All religions insist on peace. From this we might think that the religious struggle for peace is simple … but it is not. The deep problem is that people use religion wrongly in pursuit of victory and triumph. This sad fact then leads to conflict with people who have different beliefs.
-KH Abdurrahman Wahid-
Ungkapan di atas menampilkan wajah Gus Dur yang pluralis demi menjaga kedamaian dan kerukunan antar sesama manusia. Untuk memahami pemikiran beliau yang penulis rasa tidak mudah, ada baiknya memahami latar belakang kehidupannya dan jalur keilmuannya.
Kiai Haji Abdurrahman Wahid atau dikenal sebagai Gus Dur lahir di Jombang, Jawa Timur, pada 7 September 1940 . Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara dari keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas Muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya adalah K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sementara kakek dari pihak ibu, K.H. Bisri Syansuri, adalah pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan. Ayah Gus Dur, K.H. Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama tahun 1949. Ibunya, Ny. Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang. Berdasarkan silsilah keluarga, Gus Dur mengaku memiliki darah Tionghoa yakni dari keturunan Tan Kim Han yang menikah dengan Tan A Lok, saudara kandung Raden Patah (Tan Eng Hwa), pendiri Kesultanan Demak. Tan A Lok dan Tan Eng Hwa merupakan anak dari Putri Campa, puteri Tiongkok yang merupakan selir Raden Brawijaya V.
Pada tahun 1957, setelah lulus SMEP Yogyakarta ia pindah ke Magelang untuk memulai pendidikan Islam di Pondok Pesantren Tegalrejo. Ia menyelesaikan pendidikannya dalam waktu dua tahun dari yang semestinya, yaitu empat tahun. Tahun 1959, ia pindah ke Pesantren Tambakberas di Jombang dan kemudian nyantri lagi di Pesantren Krapyak Yogyakarta. Di Tambakberas, ia sempat menjadi guru dan menjadi kepala madrasah dan pada saat yang sama mengasah bakatnya sebagai penulis untuk majalah sastra “Horizon” dan majalah kebudayaan “Budaya Jawa”.
Tahun 1963, Gus Dur menerima beasiswa dari Kementrian Agama RI untuk belajar di Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir pada Department of Higher Islamic and Arabic Studies. Di Mesir, ia terlibat aktif di Asosiasi Pelajar Indonesia dan menjadi penulis untuk majalah asosiasi tersebut. Selain itu, ia juga sempat dipekerjakan di Kedutaan Besar Indonesia di Mesir. Pembelajaran Bahasa Arab di Mesir membuatnya tidak nyaman. Menurutnya, materi yang diberikan sudah banyak ia pelajari dan ia melakukan kritik serta menolak metode belajar yang digunakan oleh pihak universitas.
Hal di atas yang mungkin menyebabkan kegagalannya di Universitas Al-Azhar. Pihak universitas memberitahu dirinya untuk mengulang pelajaran. Namun, pada saat bersamaan ia menerima beasiswa dari Universitas Baghdad, Irak. Ia pun pindah ke Irak dan masuk fakultas Sastra dan Kebudayaan Arab. Universitas inilah yang menyelamatkan pendidikan pasca sarjananya, apalagi ia sangat menikmati lingkungan barunya dan giat belajar. Sehingga pendidikannya di Universitas Baghdad selesai tahun 1970. Ia kemudian pergi ke Belanda untuk belajar di Universitas Leiden. Namun sayang, ia harus merasa kecewa karena pendidikannya di Baghdad kurang diakui di Leiden. Ia kemudian pergi ke Jerman dan Perancis sebelum akhirnya kembali ke Indonesia pada tahun 1971.
Selesai masa studinya, Gus Dur pun pulang ke Indonesia dan bergabung dengan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Gus Dur terjun dalam dunia jurnalistik sebagai kaum ‘cendekiawan’ muslim yang progresif yang berjiwa sosial demokrat. Pada masa yang sama, Gus Dur terpanggil untuk berkeliling pesantren dan madrasah di seluruh Jawa. Hal ini dilakukan demi menjaga agar nilai-nilai tradisional pesantren tidak tergerus, pada saat yang sama mengembangkan pesantren. Hal ini disebabkan pada saat itu, pesantren berusaha mendapatkan pendanaan dari pemerintah dengan cara mengadopsi kurikulum pemerintah. Karir KH Abdurrahman Wahid terus merangkak dan menjadi penulis untuk majalah Tempo dan koran Kompas. Artikelnya diterima dengan baik dan ia mulai mengembangkan reputasi sebagai komentator sosial. Dengan popularitas itu, ia mendapatkan banyak undangan untuk memberikan kuliah dan seminar, membuat dia harus pulang-pergi antara Jakarta dan Jombang, tempat Wahid tinggal bersama keluarganya. Meskipun memiliki karir yang sukses pada saat itu, Gus Dur masih merasa sulit hidup hanya dari satu sumber pencaharian dan ia bekerja untuk mendapatkan pendapatan tambahan dengan menjual kacang dan mengantarkan es untuk digunakan pada bisnis Es Lilin istrinya.
Baru pada tahun 1974, Gus Dur mendapat pekerjaan tambahan sebagai guru di Pondok Pesantren Tambakberas, Jombang. Setahun kemudian ia menambah pekerjaannya dengan menjadi guru kitab Al-Hikam. Tahun 1977, Gus Dur bergabung dengan Universitas Hasyim Asyari dan menjadi Dekan pada Fakultas Praktik dan Kepercayaan Islam. Di universitas ini, ia mengajar mata kuliah tambahan seperti pedagogie, syariat Islam, dan misiologi. Hal ini mungkin menyebabkan ketidak senangan beberapa pihak di kalangan universitas, sehingga ia mendapat rintangan dalam mengajar mata kuliah tersebut. Namun ia tidak pantang menyerah. Hal ini terbukti hingga sampai akhir hayatnya terus berjuang sesuai dengan apa yang ia yakini kebenarannya.

b. Terjun ke Nahdlatul Ulama (NU)
Pada awal 1980-an, tepatnya tahun 1979, Gus Dur terjun mengurus Nahdlatul Ulama (NU) setelah tiga kali ditawarin oleh kakeknya. Dalam beberapa tahun, Gus Dur berhasil mereformasi tubuh NU sehingga membuat namanya semakin populer di kalangan NU. Pada Musyawarah Nasional 1984, Gus Dur didaulat sebagai Ketua Umum NU. Selama masa jabatan pertamanya, Gus Dur fokus dalam mereformasi sistem pendidikan pesantren dan berhasil meningkatkan kualitas sistem pendidikan pesantren sehingga dapat menandingi sekolah sekular.
Selama memimpin organisasi massa NU, Gus Dur dikenal kritis terhadap pemerintahan Soeharto. Pada Maret 1992 , Gus Dur berencana mengadakan Musyawarah Besar untuk merayakan ulang tahun NU ke-66 dan mengulang pernyataan dukungan NU terhadap Pancasila. Wahid merencanakan acara itu dihadiri oleh paling sedikit satu juta anggota NU. Namun, Soeharto menghalangi acara tersebut, memerintahkan polisi untuk mengembalikan bus berisi anggota NU ketika mereka tiba di Jakarta. Setelah acara, Gus Dur mengirim surat protes kepada Soeharto menyatakan bahwa NU tidak diberi kesempatan menampilkan Islam yang terbuka, adil dan toleran.

c. Presiden RI ke-4
Pada Juni 1999, partai PKB ikut serta dalam arena pemilu legislatif. PKB memenangkan 12% suara dengan PDI-P memenangkan 33% suara . Dengan kemenangan partainya, Megawati memperkirakan akan memenangkan pemilihan presiden pada Sidang Umum MPR. Namun, PDI-P tidak memiliki mayoritas penuh, sehingga membentuk aliansi dengan PKB. Pada Juli, Amien Rais membentuk Poros Tengah, koalisi partai-partai Muslim. Poros Tengah mulai menominasikan Gus Dur sebagai kandidat ketiga pada pemilihan presiden dan komitmen PKB terhadap PDI-P mulai berubah. Pada 19 Oktober 1999, MPR menolak pidato pertanggung jawaban Habibie dan ia mundur dari pemilihan presiden. Beberapa saat kemudian, Akbar Tanjung, ketua Golkar dan ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyatakan Golkar akan mendukung Gus Dur. Pada 20 Oktober 1999, MPR kembali berkumpul dan mulai memilih presiden baru. Abdurrahman Wahid kemudian terpilih sebagai Presiden Indonesia ke-4 dengan 373 suara, sedangkan Megawati hanya 313 suara.
Pasca kejatuhan rezim Orde Baru pada 1998, Indonesia mengalami ancaman disintegrasi kedaulatan negara. Konflik meletus dibeberapa daerah dan ancaman separatis semakin nyata. Menghadapi hal itu, Gus Dur melakukan pendekatan yang lunak terhadap daerah-daerah yang berkecamuk. Terhadap Aceh, Gus Dur memberikan opsi referendum otonomi dan bukan kemerdekaan seperti referendum Timor Timur. Pendekatan yang lebih lembut terhadap Aceh dilakukan Gus Dur dengan mengurangi jumlah personel militer di Negeri Serambi Mekkah tersebut. Netralisasi Irian Jaya, dilakukan Gus Dur pada 30 Desember 1999 dengan mengunjungi ibukota Irian Jaya. Selama kunjungannya, Presiden Abdurrahman Wahid berhasil meyakinkan pemimpin-pemimpin Papua bahwa ia mendorong penggunaan nama Papua.

d. Doktor kehormatan dan Penghargaan Lain
Dikancah internasional, Gus Dur banyak memperoleh gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) dibidang humanitarian, pluralisme, perdamaian dan demokrasi dari berbagai lembaga pendidikan diantaranya : Doktor Kehormatan dari Jawaharlal Nehru University, India (2000), Doktor Kehormatan dari Twente University, Belanda (2000), Doktor Kehormatan bidang Ilmu Hukum dan Politik, Ilmu Ekonomi dan Manajemen, dan Ilmu Humaniora dari Pantheon Sorborne University, Paris, Perancis (2000), Doktor Kehormatan bidang Filsafat Hukum dari Thammasat University, Bangkok, Thailand (2000), Doktor Kehormatan dari Chulalongkorn University, Bangkok, Thailand (2000), Doktor Kehormatan dari Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand (2000), Doktor Kehormatan dari Soka Gakkai University, Tokyo, Jepang (2002), Doktor Kehormatan bidang Kemanusiaan dari Netanya University, Israel (2003), Doktor Kehormatan bidang Hukum dari Konkuk University, Seoul, Korea Selatan (2003), Doktor Kehormatan dari Sun Moon University, Seoul, Korea Selatan (2003). Penghargaan-penghargaan lain : Penghargaan Dakwah Islam dari pemerintah Mesir (1991), Penghargaan Magsaysay dari Pemerintah Filipina atas usahanya mengembangkan hubungan antar-agama di Indonesia (1993), Bapak Tionghoa Indonesia (2004). Pejuang Kebebasan Pers.

e. Gus Dur Wafat
Gus Dur wafat pada hari Rabu, 30 Desember 2009, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, pada pukul 18.45 akibat berbagai komplikasi penyakit, terutama gangguan ginjal, yang dideritanya sejak lama. Sebelum wafat ia harus menjalani hemodialisis (cuci darah) rutin. Seminggu sebelum dipindahkan ke Jakarta ia sempat dirawat di Jombang seusai mengadakan perjalanan di Jawa Timur. Gus Dur di makamkan di Jombang Jawa Timur.

BAB III
TEMA-TEMA POKOK PEMIKIRAN GUS DUR

a. Pribumisasi Islam
Dalam soal Islam dan kaitannya dengan masalah sosial budaya, menarik kiranya untuk dikemukakan kritik Gus Dur terhadap gejala yang ia sebut sebagai “Arabisasi”. Kecenderungan semacam itu nampak, misalnya, dengan penamaan terhadap aktivitas keagamaan dengan menggunakan bahasa Arab. Itu terlihat misalnya dengan kebanggaan orang untuk menggunakan kata-kata atau kalimat bahasa Arab untuk sesuatu yang sebenarnya sudah lazim dikenal.
Latar belakang dari konsep pribumisasi Islam didasari oleh kecenderungan untuk memanifestasikan kebudayaan Islam dalam kehidupan bangsa. Kecenderungan ini menurut Gus Dur secara umum dibagi menjadi dua, yaitu kecenderungan untuk formalisasi ajaran Islam dalam seluruh manifestasi kebudayaan bangsa dan kecenderungan untuk menjauhi sedapat mungkin menjauhi formalisasi ajaran Islam tersebut. Pribumisasi Islam merupakan bentuk kontekstualisasi ajaran Islam secara substantif dengan menghayati nilai-nilai universal ajarannya sehingga Islam senantiasa mampu berperan dan tidak kehilangan relevansinya dalam kehidupan manusia saat ini dan dalam menyikapi kebudayaan lain sehingga Islam tidak kehilangan jati dirinya.
Hal yang perlu dipahami dari konsep ini bahwa pribumisasi Islam yang disuarakan oleh Gus Dur bukan sebagai kebudayaan baru yang merupakan alternatif bagi kita saat ini. Namun konsep pribumisasi Islam merupakan internalisasi ajaran Islam sesuai dengan perkembangan budaya Indonesia yang khas. Menurut penulis sendiri, upaya ini merupakan kerangka dialogis untuk meminimalisir ketegangan antara agama dan budaya yang sampai saat ini tidak begitu sulit untuk kita lacak di kehidupan masyarakat Indonesia. Mengenai hal ini ditegaskan oleh Gus Dur bahwa:
Pribumisasi Islam bukan sebuah upaya menghindarkan timbulnya perlawanan dari kekuatan budaya-budaya setempat, akan tetapi justru agar budaya tidak hilang. Pribumisasi Islam adalah kebutuhan kebutuhan bukan untuk menghindarkan polarisasi antara agama dan budaya, sebab polarisasi demikian memang tak terhindarkan. Lebih dari itu, pribumisasi mencoba menjadikan agama dan budaya tidak saling mengalahkan, melainkan berwujud dalam pola nalar keagamaan ….. bahwa ketika Islam berkembang ia sesungguhnya tidak akan pernah betul-betul sama dari satu tempat ke tempat yang lain dari waktu ke waktu. Islam akan membentuk sebuah tradisi kultural tersendiri dimana ia tumbuh dan berkembang.

Pernyataan ini memiliki benang merah dengan statement brilian dan berani dari seorang Hujjatul Islam Imam al-Ghazali yang membedakan antara “Muhammad yang Nabi” dan “Muhammad yang Arab” dalam karyanya “al-mankhul min Ta’liqat al-Usul”, sebagaimana berikut:
Jika aktivitas Nabi Muhammad SAW tersebut masih dalam batas-batas aktivitas kebiasaan budaya seperti makan, minum, berdiri, duduk, bersandar dan tidur miring ke kanan, maka sama sekali tidak bisa dikaitkan dengan hukum. Sebagian pakar hadits berpendapat bahwa mengikuti Nabi secara total adalah sunnah, dan pendapat inilaih yang merupakan kesalahan berpikir.
Pemetaan ini sangatlah penting, sehingga Imam Ghazali, seorang pengarang prolific, telah sejak dini melakukan pemisahan antara sabda Nabi yang bersifat budaya kultural dan pesan Nabi sebagai advise keagamaan yang harus diikuti dan bersifat mengikat. Ghazali adalah ulama yang pertama kali berani membuat garis demarkasi antara mana yang “Arabis” dan mana yang “Islamis”. Hal ini sejalan dengan style pemahaman Gus Dur untuk menarik garis demarkasi antara mana yang “pure Islam” dan mana yang “bias kultur Arab”.
Sebagai contoh, Gus Dur menunjuk penyebutan Fakultas Keputrian dengan sebutan kulliyatul bannat di UIN. Juga ketidakpuasan orang awam jika tidak menggunakan kata “ahad” untuk menggantikan kata “minggu” , Padahal kata Minggu, sebenarnya berasal dari bahasa Portugis, “jour dominggo”, yang berarti hari Tuhan.dan sebagainya. Seolah- olah kalau tidak menggunakan kata-kata berbahasa Arab tersebut, akan menjadi “tidak Islami” atau ke-Islaman seseorang akan berkurang karenanya. Formalisasi seperti ini, menurut Gus Dur, merupakan akibat dari rasa kurang percaya diri ketika menghadapi “kemajuan Barat” yang sekuler. Maka jalan satu-satunya adalah dengan mensubordinasikan diri ke dalam konstruk Arabisasi yang diyakini sebagai langkah ke arah Islamisasi.
Dengan contoh di atas, Arabisasi telah berkembang menjadi Islamisasi -dengan segala konsekuensinya. Hal ini pula yang membuat banyak aspek dari kehidupan kaum muslimin yang dinyatakan dalam simbolisme Arab. Atau dalam bahasa tersebut, simbolisasi itu bahkan sudah begitu merasuk ke dalam kehidupan bangsa-bangsa muslim, sehingga secara tidak terasa Arabisasi disamakan dengan Islamisasi. Padahal Arabisasi bukanlah Islamisasi. Gus menerangkan bahwa:
Dua istilah ini memiliki implikasi yang berbeda, meski bermula pada pemahaman teks-teks keislaman, al-Qur’an dan Hadis. Namun demikian, ketika mendekati teks-teks tersebut senantiasa meniscayakan adanya korelasi dan hubungan erat dengan kondisi historis dan sosial yang ada di sekitarnya. Dalam konteks ini pula lah, sebuah hadis harus dipahami secara cermat dalam kapasitas apakah Muhammad sebagai salah satu orang Arab dengan segala setting kulturalnya, atau apakah Muhammad sebagai Rasul yang membawa pesan-pesan Ketuhanan.

Dengan melihat kenyataan di atas, Gus Dur mempunyai persangkaan bahwa kaum muslimin di Indonesia, sekarang justru sedang asyik bagaimana mewujudkan berbagai keagamaan mereka dengan bentuk dan nama yang diambilkan dari Bahasa Arab. Formalisasi ini, tidak lain adalah kompensasi dari rasa kurang percaya diri terhadap kemampuan bertahan dalam hadapi “kemajuan Barat”. Seolah-olah Islam akan kalah dari peradaban Barat yang sekuler, jika tidak digunakan kata-kata berbahasa Arab. Tentu saja rasa kurang percaya diri ini juga dapat dilihat dalam berbagai aspek kehidupan kaum muslimin sekarang di seluruh dunia.
Sebenarnya kritik Gus Dur terhadap “Arabisasi” itu sudah diungkapkan pada tahun 1980-an, yakni ketika ia mengungkapkan gagasannya tentang “pribumisasi Islam”. Ia meminta agar wahyu Tuhan dipahami dengan mempertimbangkan faktor–faktor kontekstual, termasuk kesadaran hukum dan rasa keadilannya. Sehubungan dengan hal ini, ia melansir apa yang disebutnya dengan “pribumisasi Islam” sebagai upaya melakukan “rekonsiliasi” Islam dengan kekuatan–kekuatan budaya setempat, agar budaya lokal itu tidak hilang. Di sini pribumisasi dilihat sebagai kebutuhan, bukannya sebagai upaya menghindari polarisasi antara agama dengan budaya setempat.
Pribumisasi juga bukan sebuah upaya mensubordinasikan Islam dengan budaya lokal, karena dalam pribumisasi Islam harus tetap pada sifat Islamnya. Pribumisasi Islam juga bukan semacam “jawanisasi” atau sinkretisme, sebab pribumisasi Islam hanya mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal di dalam merumuskan hukum-hukum agama, tanpa merubah hukum itu sendiri. Juga bukannya meninggalkan norma demi budaya, tetapi agar norma-norma itu menampung kebutuhan–kebutuhan dari budaya dengan mempergunakan peluang yang disediakan oleh variasi pemahaman nash, dengan tetap memberikan peranan kepada ushul fiqh dan qâidah fiqh. Sedangkan sinkretisme adalah usaha memadukan teologi atau sistem kepercayaan lama, tentang sekian banyak hal yang diyakini sebagai kekuatan gaib berikut dimensi eskatologisnya dengan Islam, yang lalu membentuk panteisme.

b. Pandangan Tentang Negara Islam dan Pancasila
Benang merah yang sangat penting dari pemikiran Gus Dur adalah penolakannya terhadap formalisasi, ideologisasi, dan syari’atisasi Islam. Sebaliknya, Gus Dur melihat bahwa kejayaan Islam justru terletak pada kemampuan agama ini untuk berkembang secara kultural. Dengan kata lain, Gus Dur lebih memberikan apresiasi kepada upaya kulturalisasi (culturalization).
Ketidaksetujuan Gus Dur terhadap formalisasi Islam itu terlihat, misalnya terhadap tafsiran ayat Al Qur’an yang berbunyi “udhkuluu fi al silmi kaffah”, yang seringkali ditafsirkan secara literal oleh para pendukung Islam formalis. Jika kelompok Islam formalis yang menafsirkan kata “al silmi” dengan kata “Islami”, Gus Dur menafsirkan kata tersebut dengan perdamaian”.
Menurut Gus Dur, Bermula dari ayat inilah muncul istilah yang sebenarnya masuk dalam kategori al-aktha’ asy-sya’iah (kesalahan-kesalahan yang populer) yaitu idiom “Islam Kaffah” yang hanya dikenal dalam komunitas muslim Indonesia yang tidak begitu akrab dengan kaidah-kaidah gramatikal Arab. Istilah “Islam Kaffah” tidak hanya merupakan tindakan subversif gramatikal tetapi juga pemaksaan istilah yang kebablasan. Kalangan fundamentalis sering merujuk “Islam Kaffah” ini sebagai doktrin teologis. Doktrin ini di tangan mereka mengalami pergeseran, yakni ke arah ideologisasi dengan mendasarkan pada ayat ini. Idiom “Islam Kaffah” ini sangat sulit difahami sebagai sebuah bentuk kalimat ‘sifat dan mausuf (yang disifati), belum lagi diajukan pertanyaan apakah kata ‘Kaffah’ dalam ayat tersebut sebagai keterangan dari kata ganti yang ada dalam “udkhulu” yaitu dlamir “antum” atau keterangan dari “as-silmi”.
Konsekuensi dari penafsiran tersebut mempunyai implikasi luas. Mereka yang terbiasa dengan formalisasi, akan terikat kepada upaya-upaya untuk mewujudkan “sistem islami” secara fundamental dengan mengabaikan pluralitas masyarakat. Akibatnya, pemahaman seperti ini akan menjadikan warga negara non-Muslim menjadi warga Negara kelas dua. Bagi Gus Dur, untuk menjadi Muslim yang baik, seorang Muslim kiranya perlu menerima prinsip-prinsip keimanan, menjalankan ajaran (rukun) Islam secara utuh, menolong mereka yang memerlukan pertolongan, menegakkan profesionalisme, dan bersikap sabar ketika menghadapi cobaan dan ujian. Konsekuensinya, mewujudkan sistem Islami atau formalisasi tidaklah menjadi syarat bagi seseorang untuk diberi predikat sebagai muslim yang taat.
Masih dalam konteks formalisasi, Gus Dur juga menolak ideologisasi Islam. Bagi Gus Dur, ideologisasi Islam tidak sesuai dengan perkembangan Islam di Indonesia, yang dikenal dengan “negerinya kaum Muslim moderat”. Islam di Indonesia, menurut Gus Dur, muncul dalam keseharian kultural yang tidak berbaju ideologis. Di sisi lain, Gus Dur melihat bahwa ideologisasi Islam mudah mendorong umat Islam kepada upaya-upaya politis yang mengarah pada penafsiran tekstual dan radikal terhadap teks-teks keagamaan. Implikasi paling nyata dari ideologisasi Islam adalah upaya-upaya sejumlah kalangan untuk menjadikan Islam sebagai ideologi alternatif terhadap Pancasila, serta keinginan sejumlah kelompok untuk memperjuangkan kembalinya Piagam Jakarta. Juga langkah-langkah sejumlah pemerintah daerah dan DPRD yang mengeluarkan peraturan daerah berdasarkan “Syari’at Islam”. Menurut Gus Dur, upaya-upaya untuk “meng-Islamkan” dasar negara dan “men-syari’atkan” peraturan-peraturan daerah itu bukan saja a-historis, tetapi juga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Gus Dur memberikan tela’ah mengenai adanya keinginan kelompok tertentu untuk menjadikan Islam sebagai ideologi negara, yaitu sebagai pengganti Pancasila. Menurut pandangan Gus Dur, hal itu terjadi sebagai:
Akibat terjadi penyempitan pandangan mengenai Pancasila itu sendiri, yaitu pengertian Pancasila hanya menurut mereka yang berkuasa. Ini berarti pemahaman Pancasila melalui satu jurusan belaka, yaitu jurusan melestarikan kekuasan. Pandangan lain yang menyatakan Pancasila harus dipahami lebih longgar, dilarang sama sekali. Dengan demikian, sebenarnya yang terjadi bukanlah pertentangan mengenai Pancasila itu sendiri, melainkan soal pengertian Pancasila tersebut.

Jelaslah menurut Gus Dur, dengan uraian di atas, bahwa penghadapan Islam kepada Pancasila adalah sesuatu yang tidak dapat dibenarkan, karena menghadapkan sesuatu yang bersifat umum kepada pandangan yang bersifat khusus. Kalau itu diteruskan, berarti rasionalitas telah ditinggalkan, dan hanya emosi yang mengendalikan pandangan hidup kita. Tentu kita lebih mementingkan sesuatu yang rasional, bila dibandingkan dengan sesuatu yang emosional.

c. Pluralistik dan kosmopolitanisme Islam
“Hari ini telah Ku-sempurnakan bagi kalian agama kalian, Ku-tuntaskan bagi kalian pemberian nikmat-Ku dan Ku-relakan bagi kalian Islam sebagai agama” (QS al-Maidah: 3)
Firman Tuhan ini sering dijadikan dasar oleh sebagian kelompok sebagai eksklusifitas Islam. Jelas sekali Islam sebagai agama yang sempurna. Namun pernyataan teks al-Qur'an ini sering disalahgunakan dengan mengkafirkan kelompok lain yang berakibat terjadi disharmonisasi antar pemeluk lintas agama. Jika dibawa ke konteks nasional, maka jelas hal ini akan mengancam keutuhan bangsa sebagai bangsa Indonesia.
Di sinilah urgensi dari konsep kosmopolitanisme Gus Dur yang secara praktis dapat menghilangkan batasan etnis, kuatnya pluralitas budaya dan heterogenitas politik. Konsep kosmopolitanisme Gus Dur ini dibaca sebagai pandangan kebudayaan dan keilmuan. Perspektif budaya misalnya diajukan Gus Dur sebagai perspektif untuk memperkaya proses dialog antar peradaban.
Watak ini-menurut Gus Dur- telah tampak sejak awal pemunculannya, yang dimulai dengan cara Nabi Muhammad SAW dalam mengatur mengorganisasikan masyarakat Madinah sehingga munculnya para ensiklopedis Islam awal pada abad ketiga hijriyah dan berbagai keberhasilan peradaban lainnya. Kosmopolitan ini bekerja dengan memantulkan proses saling menyerap dengan peradaban-peradaban lain di sekitar dunia Islam waktu itu, yaitu mulai dari sisa-sisa peradaban Yunani kuno yang berupa hellenisme hingga peradaban anak benua India. Kosmopolitanisme bahkan menurut Gus Dur menampakkan diri dalam unsur dominan yang menakjubkan, yaitu kehidupan beragama yang eklektik selama berabad-abad.
Berikut ini kutipan penulis terhadap konsep pluralisme dan kosmopolitanisme Islam yang dimaksudkan oleh Gus Dur:
Dengan demikian, “kesempurnaan sistem” Islam sebagai agama, tidak didasarkan pada kekuatan atau wewenang lembaga tertentu, melainkan pada kemampuan akal manusia untuk melakukan perbandingan sendiri-sendiri. Dalam pandangan penulis, kesadaran pluralistik seperti inilah yang harus kita pelihara dan bukannya lembaga tertentu seperti negara yang harus kita sandari. Bukankah ini sesuai dengan pernyataan Tuhan –sebagaimana yang disebutkan di atas, tentang diutusnya Nabi kita Muhammad Saw, untuk membawakan persaudaraan di antara sesama manusia? Pengertian berangkai yang penulis ajukan ini, tentulah terkait sepenuhnya dengan pernyataan Tuhan: “Barang siapa mengambil selain Islam sebagai agama, tiada diterima (amal)-nya dan ia akan termasuk di akhirat “kelak” sebagai orang yang merugi (wa man yabtaghi ghaira al-Islâma dînan falan yuqbala minhu wa hua fî al-âkhirati min al-khâsirîn)” (QS Ali Imran [3]:85). Pernyataan ini menunjukkan hak tiap orang untuk merasa benar, walaupun Islam meyakini kebenarannya sendiri.

Dalam kehidupan masyarakat Islam “kenyataan” seperti ini harus terus-menerus kita sadari dalam sebuah kehidupan bersama. Ini adalah pelaksanaan dari adagium “perbedaan pendapat dari para pemimpin, adalah rahmat bagi umat (ikhtilâf al-a’immah rahmat al-ummah).”