Kamis, Agustus 30, 2012

Membumikan Pancasila Demi Persaudaraan

Membumikan Bhineka Tunggal Ika Demi Persaudaraan BhÄ«neka tunggal ika tan hana dharmma mangrwa. (Mereka memang berbeda-beda. Namun, pada hakikatnya sama. Karena tidak ada kebenaran yang mendua”) (Mpu Tantular, Kakawin Sutasoma. bagian 139.5) Alangkah indahnya ucapan Mpu Tantular dalam Kakawin Sutasoma ini. Sebuah kalimat yang mendengungkan semangat toleransi dalam berbagai perbedaan. Sebuah pemikiran yang sangat maju di zamannya dan masih sangat relevan untuk masa kini. Jika kita menoleh jauh ke masa lalu, sejarah Nusantara merupakan sejarah perjalanan panjang antar multietnis (Tionghoa, Melayu, Batak, Dayak, dan lain-lain) dan multimental (Hindu, Budha, Kristen, Islam, Konghucu, dan lain-lain). Pelbagai pertemuan ini menjadikan Nusantara lebih mirip kuali penyerbukan silang-budaya. Masih dalam konteks sejarah masa lalu, setidaknya sejak masa Majapahit telah muncul semacam doktrin “agama sipil” yang mendorong kehidupan harmonis antar pemeluk agama (Hindu, Buddha, dan kemudian Islam). Doktrin agama sipil ini diformulasikan oleh Mpu Tantular dalam semboyan bhineka tunggal ika yang secara historis, merupakan rumusan dari suatu konsep keagamaan baru. Sejak masa kerajaan-kerajaan kuno di Jawa Tengah, agama Hindu Siwa dan Buddha Mahayana telah hidup berdampingan. Perbedaan candi-candi dari kedua agama tersebut menunjukkan bahwa keduanya terpisah satu sama lain. Agama tersebut masing-masing mempunyai candi-candi yang berbeda dan terpisah, arca-arca pemujaan yang dapat dibedakan dengan jelas satu sama lain. Baru pada masa Mpu Tantular, muncul gagasan untuk menjembatani berbagai aliran agama yang ada di Majapahit pada saat itu. Menurut Zoetmulder, Kakawin Sutasoma menawarkan sesuatu yang lain karena terdapat ide-ide religius pada saat itu, khususnya mengenai bentuk Buddhisme Mahayana seperti berlaku di Majapahit, beserta hubungannya dengan Siwaisme. Kita tidak dapat mengharapkan akan menemukan sebuah ilustrasi yang lebih baik tentang cara kedua aliran itu hidup berdampingan, saling mempengaruhi serta menjadi titik identik dalam pandangan pokoknya. Memang dalam Kakawin Sutasoma, pengertian bhineka tunggal ika lebih ditekankan pada perbedaan dalam bidang agama, tetapi apa yang dilakukan oleh pemerintah Majapahit, terutama dalam usaha membina kerukunan, nampaknya telah memberikan nilai-nilai inspiratif dan konsep tersebut dapat dielaborasi lebih lanjut bagi bangsa Indonesia. Lalu, bagaimana membumikan bhineka tunggal ika dalam konteks kekinian? Apakah ini masih penting? Jawabannya tentu. Malahan proses pembumian harus dilakukan dengan lebih strategik dan proaktif. Mengapa? Tengok saja beberapa kasus kekerasan atas nama agama, pertikaian karena perbedaan penafsiran teks-teks suci, perkelahian antar kelompok agama akibat diskriminasi ekonomi, sosial, dan budaya. Untuk contoh konkrit, baru-baru ini, lihatlah kembali kasus jamaah Tariqat Naqsabandiyah dan Warga Dusun Tambang 25 Desa Cupat, Kecamatan Parittiga, Bangka Barat. Sebenarnya ini hanyalah salah satu contoh kasus yang akan menjadi pemantik api yang akan kembali membakar, mungkin di tempat yang lain dan kelompok lain lagi. Dengan mengambil sampel kasus di atas, saya ingin mencoba melakukan penajaman penyebab kasus serta rekomendasi solusi dari perspektif “konflik sebagai sarana dialogis”. Kondisi sosial selama ini, yang terjadi bukanlah karena tidak adanya konflik. Tapi karena minimnya komunikasi yang tulus antarkelompok. Konflik lebih mirip bom waktu yang pada saat bergesek sedikit saja, maka akan meledak. Ini sangat berbeda dengan konflik yang terjadi antarkelompok yang sering berkomunikasi dan bekerjasama. Dalam kelompok ini memang potensi terjadi konflik memang besar, namun konflik yang terjadi biasanya lebih dapat diredam karena adanya understanding dan lebih mirip sebuah dialog untuk sebuah pengertian (dialogue for mutual understanding). Tindakan anarkis lebih dapat diredam dengan adanya sebuah jalinan persaudaraan. Konflik yang diselesaikan dengan adanya ikatan tali-tali persaudaraan lebih terarah untuk menjelma menjadi sebuah solusi yang saling mencerahkan. Saya ingin menggarisbawahi sebuah kata kunci, yaitu dialog. Mengapa? Karena dialog selalu membuka ruang yang tak terjangkau. Selalu membuka pintu-pintu cakrawala yang dapat menumbuhkan kesadaran yang bijak. Namun, dialog yang dilakukan tanpa keterbukaan sikap untuk saling menerima, mendengarkan, ketulusan akan perbedaan, tidak dapat mencapai tujuan dialog sebagai jalan menuju persaudaraan. Dalam kasus konflik antar dan inter umat beragama, kelompok-kelompok yang berkepentingan harus berani menguji dan mempertanyakan landasan pendapat dan asumsi dasar mereka (baik landasan teologis maupun rasional), tidak perlu khawatir hal itu akan melemahkan atau meruntuhkannya. Kalau tidak, dampaknya dapat tercermin dalam hubungan sosial, ketika kelompok atau gerakan keagamaan yang satu menghindar dari, atau tidak berani bergaul dengan sesama anggota kelompok yang berasal dari golongan lain karena hal itu akan mengancam keyakinan-keyakinannya. Hal ini absurd, karena mengesampingkan de facto pluralisme internal dan absolutisasi kebenaran yang pada dasarnya bersifat tentatif. Sikap di atas menutup peluang bagi diskusi dan dialog terbuka dalam rangka meningkatkan saling pengertian—yang harus dibedakan dari debat mendapatkan kepastian dan kebenaran tunggal yang mustahil. Diskusi dan refleksi obyektif tidak dapat berlangsung jika pihak-pihak yang terlibat bertolak dari prinsip: “Inilah keyakinan kami, dan kami berhak meyakininya. Persetan dengan keyakinan-keyakinan Anda”. Prinsip ini menutup jalan bagi kemungkinan saling memahami, saling pengertian yang lebih besar, dan revisi terhadap kebenaran parsial yang disebutkan di atas. Bila partikularisme internal suatu kelompok diramu dengan militanisme yang radikal, hasilnya adalah komunalisme yang menggerogoti komunitas manusia. Akhirnya, dalam kesempatan ini juga, saya ingin menyampaikan rasa salut kepada MUI, Polres Bangka Barat, Tripika Parittiga, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan pemuda di Kecamatan Parittiga atas partisipasinya dalam penyelesaian konflik dalam kasus di atas. Pihak-pihak ini sangat memberikan semangat baru demi setitik persaudaraan. Memang mudah membumikan bhineka tunggal ika dalam tataran teoretis, namun sulit membumikannya dalam tataran praksis. Dapatkah kita melakukan dialog yang tulus demi persaudaraan manusia? Jawabannya tergantung apa yang ada di hati kita semua.