Jumat, November 18, 2011

PUASA atau kePUASAn?

Kata “puasa” dalam berbagai derivasinya, disebut 13 kali dalam al-Qur'an, dengan rincian 12 kali dengan kata shiam, namun hanya satu kali dengan kata shaum. Jelas terdapat diferensiasi antara shiam (merujuk kepada puasa yang seperti sekarang kita lakukan) dan shaum.
Satu-satunya kata shaum dalam alquran berkaitan dengan seorang perempuan suci yang telah melahirkan Nabi Isa as, ia adalah Maryam. Setelah mengalirkan sungai di bawah kaki Maryam dan menjatuhkan kurma yang segar, Allah swt. berkata kepada Maryam yang mengalami rasa sakit karena akan melahirkan anak: “Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah: "Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini." (QS. Maryam [19]: 26).
Sayyid Haidar Amuli dalam Inner Secret of the Path berkata,” kita bergerak lebih jauh lagi dalam puasa kita. Kita berusaha mengendalikan diri kita lahir batin”. Secara lahir, kita mengendalikan indera lahiriah kita; seperti lidah dengan puasa bicara, telingan dengan puasa mendengar, mata dengan puasa melihat. Secara batin, kita berusaha mengendalikan fakultas batiniah kita, seperti pikiran dan imajinasi.
Ketika Maryam puasa bicara, Allah menjadikan bayi dalam buaiannya berbicara dengan sangat jelas, menjawab hujatan banyak orang ketika Maryam kembali dari Mihrab dengan menggendong anaknya. Hikmah yang dapat ditangkap adalah ketika kita puasa bicara, Allah akan memperdengarkan kepada kita dengan sangat jernih suara hati nurani. Lewat hati, yang merupakan taman ilahi dalam diri, Allah berbicara. Dan ketika kita terlalu banyak bicara, kita tidak lagi sanggup mendengar suara Ilahi dalam hati nurani kita. Kita menjadi tuli karena kita terlalu bising.
Jika ditarik dalam kehidupan kontemporer, maka dengan dengan mudah dapat ditemukan skenario-skenario yang relevan. Di dalam rumah tangga, konflik sering terjadi karena antara suami dan istri hanya ingin bicara tanpa ada pihak yang ingin mendengarkan. dalam skala yang lebih komunal, misalnya dalam suatu organisasi, kebisingan muncul karena para petinggi, pemangku jabatan, atau penentu kebijakan belajar berbicara tetapi tidak belajar mendengarkan. jika mau ditarik lagi dalam skala kosmos, maka bumi akan penuh kebisingan akibat semua orang berbicara tanpa ada yang mendengarkan. betapa akutnya bila orang berbicara tanpa adanya kemampuan bahkan keinginan untuk belajar mendengarkan dengan baik. Bumi (jika didengarkan dari langit), bagaikan stasiun radio yang overload pada channel.
Nah, dalam konteks ramadhan kali ini, tepat sekali jika puasa untuk melatih “tidak”, karena kita cenderung melampiaskan “ya”. Mental manusia lebih berpihak pada “melampiaskan” daripada “mengendalikan”. Kita tidak hanya dilatih untuk “tidak” makan, “tidak” minum, “tidak” ribut-ribut, “tidak” bohong, “tidak” janji gombal, tetapi juga untuk “tidak” mengebiri amanat serta kepentingan orang banyak, apalagi orang-orang di bawah kita.


Saya berminat membuat skrip skenario percakapan setan dalam bulan ramadhan kali ini, semoga ada yang mau mempertunjukkannya dalam panggung drama! Begini skenarionya:
Berhubung cuti kerjaan, komunitas setan ngumpul di warung sambil tertawa terkekeh-kekeh terguncang-guncang sampai basah seluruh badannya oleh lelehan air matanya. Mereka mentertawakan hasil evaluasi Ramadhan pada seminggu pertama bulan Ramadhan kali ini.
Setan belang ngomong, ”Puasa kok suasananya lebih ribut dibanding tidak puasa. Anggaran belanja makanan dan minuman keluarga para pelaku puasa kok meningkat. Puasa kok meningkat cengengesannya, ribut jualan kue puasa, jajan puasa, kado puasa, lawakan puasa, ustadz puasa, album puasa, baju puasa .......... sampai politisasi puasa!”.
Setan lain bereaksi, “bukankah itu mencerminkan suksesnya misi kita?”
Setan yang pertama menjawab, “untuk melakukan keributan-keributan di bulan Ramadhan manusia tidak memerlukan pengaruh atau provokasi kita. Mohon diakui dengan kebesaran jiwa, bahwa kecerdasan manusia untuk mengotori hidupnya sendiri sudah jauh melebihi target maksimal nenek moyang kita para setan dahulu kala untuk merusak hidup manusia”.
Setan lain menimpali, “Manusia itu tolol, untuk tidak mencuri saja mereka butuh kitab suci Allah, tak bisa mereka temukan sendiri dengan hati nurani dan akal sehatnya. Untuk tidak korupsi, orientasi target pribadi diatas kepentingan orang banyak dan menindas orang lemah saja mereka butuh konstitusi dan hukum formal. Itu pun tidak mereka patuhi. Jadi, untuk menghancurkan peradaban manusia, sama sekali tidak diperlukan setan iblis. Mereka sudah matang dan canggih menjalankan sistem budaya penghancur kehidupan anak cucu mereka sendiri”.
Tak mau kalah, Setan belang menyahut lagi, “benar kawan, untuk tabungan hari tua saja mereka mengeruk dari kantong-kantong yang bukan miliknya, manipulasi administrasi, mark up anggaran, merancukan manajemen dan saling mencari kambing hitam.”
Dengan mimik sedih dan menyesal, setan belang melanjutkan, “Saya sedih, anak cucu kita para setan di masa depan tidak punya pekerjaan lagi!”
Skenario di atas, paling tidak mengingatkan kita untuk melatih “tidak” daripada “ya”. Hendaknya Ramadhan benar-benar untuk “PUASA”, bukan untuk melampiaskan “kePUASAn”. Mudah bukan mengucapkan “tidak” daripada “ya”? tapi mungkin sulit mengaktualisasikannya? Tertarik hati saya untuk menawarkan judul di atas: PUASA atau kePUASAn? Kita tinggal memilih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar