Minggu, Januari 03, 2010

Signifikasi pendekatan Pendidikan Islam Hassan Hanafi dan Nurcholis Madjid dalam konteks global maupun nasional

Salah satu faktor kegagalan pendidikan Islam adalah pendidikan Islam yang terlalu menitikberatkan pada hal-hal yang bersifat formal dan hafalan, bukan pada pemaknaannya. Penekanan lebih pada hubungan formalitas antara hamba dan Tuhannya. Pada saat yang bersamaan, Islam lebih diajarkan pada tingkat hafalan padahal Islam penuh dengan nilai-nilai yang mesti dipraktekkan. Pendidikan Islam di Bangka Belitung, bahkan yang lebih luas lagi yaitu Indonesia, metode pembelajaran agama Islam yang berkaitan dengan aplikasi nilai-nilai Islam pada tataran praktis kurang mendapat garapan. Sehingga tolak ukur pendidikan Islam juga masih bersifat formalistik dan verbalistik. Pendidikan Islam yang dikembangkan di sekolah dasar bahkan sampai perguruan tinggi masih bersifat indoktrinasi dan pemahaman nilai ala kadarnya daripada penumbuhan jiwa kritis dan pengembangan intelektualisme siswa. Sistem pendidikan Islam yang doktriner ini akan melahirkan peserta didik yang parsial. Karakter yang muncul sebagai hasil sistem yang seperti ini mungkin dapat disebutkan sebagai berikut:
a. Tidak memiliki kecerdasan intelektual dan spiritual karena hanya disuguhi aturan-aturan rigid yang mengikat. Sehingga pendidikan agama jauh dari intellectual exercise. Ia hanya akan menerima nilai-nilai yang mengandung unsur relativitas tanpa berusaha berpikir kritis.
b. Menjadi fanatik. Sehingga tidak memiliki pemahaman agama yang terbuka, toleran, dan inklusif. Sistem doktriner akan menumbuhkan kesetiaan secara taken for granted atas agama, konservatisme menjadi sangat kuat sehingga jauh dari jiwa pluralis dan kritis.
Sebagai bukti nyata dalam kehidupan sehari-hari, banyak ditemukan siswa kita di Bangka Belitung yang akrab dengan DVD porno, hamil di luar nikah, dan banyak lagi kasus-kasus yang mengindikasikan betapa rendah dan rapuhnya fondasi moral dan spiritual anak-anak didik. Hal ini tantangan bagi dunia pendidikan, khususnya pendidikan agama Islam yang erat kaitannya dengan penanaman dasar-dasar moral dan spiritual. Dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, pendidikan Islam kurang menggigit dalam tataran aksi sehingga pendidikan Islam dipahami secara parsial hanya hubungan hamba dengan tuhannya. Singkat kata mereka menjalankan nilai-nilai Islam hanya saat berada di masjid. Selain itu, fanatik suatu kelompok membuat timbulnya ekslusifitas pada masyarakat yang multi kultural.
Dua tokoh besar Filsafat Pendidikan Islam, Hassan Hanafi dan Nurcholis Madjid (Cak Nur) memberikan paradigma baru pendidikan Islam dalam menjawab tantangan kehidupan. Hassan Hanafi yang booming lewat proyek besarnya Al-turats wa tajdid (tradisi dan pembaharuan) menawarkan tiga agenda yang dapat menumbuhkan kembali semangat Islam, rekonstruksi tradisi lama, dialog dengan dunia barat, dan aksi dalam menghadapi realitas dan masyarakat kontemporer. Begitu juga dalam ruang lingkup yang lebih Indonesia, Nurcholis Madjid menawarkan pluralisme agama dan sekulerisasi. Pemikiran dua tokoh ini mempunyai pengaruh yang besar jika dikaitkan dengan wacana multikultural di Indonesia. Kita sendiri menyadari bahwa Indonesia terdiri dari keberagaman. Baik keberagaman suku, agama, ras, adat istiadat. Penyatuan formula Hassan hanafi dan Nurcholis madjid membuat suatu paradigma baru, wacana multikultral dalam aspek pluralisme.
Seperti agenda Hassan Hanafi, kita juga harus melakukan rekonstruksi tradisi lama. Pengenalan terhadap Sang Pencipta tidak hanya dilakukan dengan memikirkan Tuhan. Tanpa dibela Tuhan telah kuat, yang perlu dipahami adalah Islam memang agama Wahyu, namun tidak hanya dipahami sebagai realitas wahyu, tetapi juga realitas sosial. Islam hendaknya diterjemahkan lagi pada tataran rasional-proaktif. Islam yang tidak dapat memberi solusi kepada persoalan kemanusiaan tidak akan punya masa depan yang cerah. Islam harus membuka diri terhadap pluralisme dalam dimensi horizontal sehingga cita-cita utama kemanusiaan dapat diwujudkan, seperti emansipasi manusia dalam bingkai akomodasi antara pemikiran, keilmuan dan nilai-nilai universal Islam dengan pemikiran dan keilmuan barat, tanpa tercerabut dari nilai ajaran agama. Kita hendaknya membongkar kembali tradisi lama menjadi tataran yang lebih praktis, seperti masalah-masalah etika, kemanusiaan, sosial politik dan budaya. Sehingga eksistensi Islam dalam kehidupan dan lingkup dunia yang serba modern lebih mampu menghadapi berbagai persoalan kontemporer saat ini dengan cara dialog dengan seluruh lapisan dunia, baik barat, timur, Kristen, Islam, dalam tataran horizontal (kemanusiaan). Inilah yang dimaksudkan Cak Nur sebagai bingkai pluralisme, bukan pemahaman sempit tentang pluralisme bahwa semua agama itu sama. Pendidikan Islam hendaknya progresif (menerima modernitas) barat tidak dilihat sebagai ancaman, tapi reinventing Islam untuk meluruskan modernitas barat, membuka peluang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan cara pemahaman Islam yang terbuka, toleran dan inklusif.
Untuk dapat melakukan revolusi teologi ke tataran yang lebih praktis, perlu adanya penulusan-penulusan sejarah dari sejak zaman Rasulullah SAW, khalifah Ar-rasidin, para sahabat, masa keemasan, masa kemunduran, masa resainnance, sampai masa sekarang. Dengan demikian, maka aspek sosiologis dan psikologis dari masing-masing masa dapat ditemukan untuk membangun kembali menjadi formula yang lebih aktif. Umat beragama mesti meninggalkan model dan karakter pemikiran terhadap persoalan horizontal secara ekslusif menuju suatu pemikiran yang inklusif dan harmonis. Di era modern sebagaimana saat ini, dengan adanya membuka diri terhadap kultur yang dibangun oleh pemeluk lintas agama dan tetap mempertahankan substansi ajaran Islam, seseorang akan menjadi kritis baik dalam filsafat, membangun budaya, dan lain-lain. Pemahaman ini penting untuk membangun kebersamaan dan keharmonisan dalam dinamika kehidupan. Namun, kebebasan berfikir dan berkarya hendaknya dilakukan dengan tetap mengacu pada kaidah ajaran Islam. Modernitas (teknologi dan sebagainya), ilmu, tradisi, keyakinan bukanlah suatu hal yang dikotomis. Justru jika dikolaborasi sesuai dengan nilai-nilai Islam akan dapat ditemukan suatu formulasi pendidikan masa depan yang lebih bermakna. Melalui pendidikan yang integralistik dalam mencermati wacana multikultural dalam bingkai pluralisme, pendidikan Islam telah mampu menjadi subjek peradaban dan bukan menjadi objek yang sekedar “pembebek” perkembangan zaman.
Konsep Islam nasionalis (Islam Al Watani) sangat tepat diterapkan di Indonesia. Islam nasionalis adalah Islam yang membela kepentingan nasional, memelihara persatuan dan kesatuan territorial dari ancaman disintegrasi dan sektarianisme. Konsep Islam nasionalis berbentuk solusi rasional problem umat Islam, seperti keadilan sosial, lintas etnik, toleransi beragama, membangun etos kerja yang baik, menolak penjarahan tanah, dan praktik kekerasan berdarah. Inilah Islam modern yang memberikan penafsiran baru terhadap teks-teks ajaran Islam hingga mampu menghadapi tantangan modernitas, tanpa harus taklid pada barat dan juga ulama klasik Arab. Islam seperti inilah yang mendorong bangkitnya budaya nasional serta melestarikan identitas bangsa Indonesia. Islam yang dibutuhkan bukan Islam yang konservatif yang hanya terbuai dengan syiar-syiar agama dan bukan pula sekuler barat yang belum tentu cocok dengan budaya bangsa Indonesia. Yang dibutuhkan Islam dan Indonesia sesungguhnya sama, yaitu memelihara dua legitimasi dalam satu waktu, yakni territorial dan identitas budaya, serta nasionalisme dan khasanah warisan di satu sis dan legitimasi modernitas yang ditandai dengan keterbukaan, kebebasan, keadian, supremasi hukum di sisi lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar