Jumat, November 18, 2011

PUASA atau kePUASAn?

Kata “puasa” dalam berbagai derivasinya, disebut 13 kali dalam al-Qur'an, dengan rincian 12 kali dengan kata shiam, namun hanya satu kali dengan kata shaum. Jelas terdapat diferensiasi antara shiam (merujuk kepada puasa yang seperti sekarang kita lakukan) dan shaum.
Satu-satunya kata shaum dalam alquran berkaitan dengan seorang perempuan suci yang telah melahirkan Nabi Isa as, ia adalah Maryam. Setelah mengalirkan sungai di bawah kaki Maryam dan menjatuhkan kurma yang segar, Allah swt. berkata kepada Maryam yang mengalami rasa sakit karena akan melahirkan anak: “Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah: "Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini." (QS. Maryam [19]: 26).
Sayyid Haidar Amuli dalam Inner Secret of the Path berkata,” kita bergerak lebih jauh lagi dalam puasa kita. Kita berusaha mengendalikan diri kita lahir batin”. Secara lahir, kita mengendalikan indera lahiriah kita; seperti lidah dengan puasa bicara, telingan dengan puasa mendengar, mata dengan puasa melihat. Secara batin, kita berusaha mengendalikan fakultas batiniah kita, seperti pikiran dan imajinasi.
Ketika Maryam puasa bicara, Allah menjadikan bayi dalam buaiannya berbicara dengan sangat jelas, menjawab hujatan banyak orang ketika Maryam kembali dari Mihrab dengan menggendong anaknya. Hikmah yang dapat ditangkap adalah ketika kita puasa bicara, Allah akan memperdengarkan kepada kita dengan sangat jernih suara hati nurani. Lewat hati, yang merupakan taman ilahi dalam diri, Allah berbicara. Dan ketika kita terlalu banyak bicara, kita tidak lagi sanggup mendengar suara Ilahi dalam hati nurani kita. Kita menjadi tuli karena kita terlalu bising.
Jika ditarik dalam kehidupan kontemporer, maka dengan dengan mudah dapat ditemukan skenario-skenario yang relevan. Di dalam rumah tangga, konflik sering terjadi karena antara suami dan istri hanya ingin bicara tanpa ada pihak yang ingin mendengarkan. dalam skala yang lebih komunal, misalnya dalam suatu organisasi, kebisingan muncul karena para petinggi, pemangku jabatan, atau penentu kebijakan belajar berbicara tetapi tidak belajar mendengarkan. jika mau ditarik lagi dalam skala kosmos, maka bumi akan penuh kebisingan akibat semua orang berbicara tanpa ada yang mendengarkan. betapa akutnya bila orang berbicara tanpa adanya kemampuan bahkan keinginan untuk belajar mendengarkan dengan baik. Bumi (jika didengarkan dari langit), bagaikan stasiun radio yang overload pada channel.
Nah, dalam konteks ramadhan kali ini, tepat sekali jika puasa untuk melatih “tidak”, karena kita cenderung melampiaskan “ya”. Mental manusia lebih berpihak pada “melampiaskan” daripada “mengendalikan”. Kita tidak hanya dilatih untuk “tidak” makan, “tidak” minum, “tidak” ribut-ribut, “tidak” bohong, “tidak” janji gombal, tetapi juga untuk “tidak” mengebiri amanat serta kepentingan orang banyak, apalagi orang-orang di bawah kita.


Saya berminat membuat skrip skenario percakapan setan dalam bulan ramadhan kali ini, semoga ada yang mau mempertunjukkannya dalam panggung drama! Begini skenarionya:
Berhubung cuti kerjaan, komunitas setan ngumpul di warung sambil tertawa terkekeh-kekeh terguncang-guncang sampai basah seluruh badannya oleh lelehan air matanya. Mereka mentertawakan hasil evaluasi Ramadhan pada seminggu pertama bulan Ramadhan kali ini.
Setan belang ngomong, ”Puasa kok suasananya lebih ribut dibanding tidak puasa. Anggaran belanja makanan dan minuman keluarga para pelaku puasa kok meningkat. Puasa kok meningkat cengengesannya, ribut jualan kue puasa, jajan puasa, kado puasa, lawakan puasa, ustadz puasa, album puasa, baju puasa .......... sampai politisasi puasa!”.
Setan lain bereaksi, “bukankah itu mencerminkan suksesnya misi kita?”
Setan yang pertama menjawab, “untuk melakukan keributan-keributan di bulan Ramadhan manusia tidak memerlukan pengaruh atau provokasi kita. Mohon diakui dengan kebesaran jiwa, bahwa kecerdasan manusia untuk mengotori hidupnya sendiri sudah jauh melebihi target maksimal nenek moyang kita para setan dahulu kala untuk merusak hidup manusia”.
Setan lain menimpali, “Manusia itu tolol, untuk tidak mencuri saja mereka butuh kitab suci Allah, tak bisa mereka temukan sendiri dengan hati nurani dan akal sehatnya. Untuk tidak korupsi, orientasi target pribadi diatas kepentingan orang banyak dan menindas orang lemah saja mereka butuh konstitusi dan hukum formal. Itu pun tidak mereka patuhi. Jadi, untuk menghancurkan peradaban manusia, sama sekali tidak diperlukan setan iblis. Mereka sudah matang dan canggih menjalankan sistem budaya penghancur kehidupan anak cucu mereka sendiri”.
Tak mau kalah, Setan belang menyahut lagi, “benar kawan, untuk tabungan hari tua saja mereka mengeruk dari kantong-kantong yang bukan miliknya, manipulasi administrasi, mark up anggaran, merancukan manajemen dan saling mencari kambing hitam.”
Dengan mimik sedih dan menyesal, setan belang melanjutkan, “Saya sedih, anak cucu kita para setan di masa depan tidak punya pekerjaan lagi!”
Skenario di atas, paling tidak mengingatkan kita untuk melatih “tidak” daripada “ya”. Hendaknya Ramadhan benar-benar untuk “PUASA”, bukan untuk melampiaskan “kePUASAn”. Mudah bukan mengucapkan “tidak” daripada “ya”? tapi mungkin sulit mengaktualisasikannya? Tertarik hati saya untuk menawarkan judul di atas: PUASA atau kePUASAn? Kita tinggal memilih.

Memaknai Internet Sebagai Fenomena Sosial Generasi muda di Bangka

Prolog
Dinas pendidikan Kabupaten Bangka meluncurkan Jaringan Pendidikan Nasional (Jardiknas) di sekolah-sekolah di Kabupaten Bangka. Jardiknas merupakan jaringan internet gratis di sekolah-sekolah. Dengan jardiknas ini, para pelajar dapat mengakses internet melalui layanan hotspot tanpa mengeluarkan biaya. Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Bangka menyadari bahwa dalam dunia pendidikan tidak terlepas dari pemanfaatan internet untuk membantu memudahkan siswa maupun guru dalam mendapatkan informasi.
Hal ini menunjukkan perhatian pemerintah yang lebih concern untuk memajukan dunia pendidikan dengan memberikan kemudahan dalam mengakses informasi. Diharapkan dengan adanya program ini, peningkatan mutu pendidikan khususnya di Kabupaten Bangka dapat mengalami kemajuan yang progresif dan signifikan.
Di lain pihak, fenomena internet akhir-akhir ini memang telah menjadi primadona di berbagai kalangan, khususnya para pelajar. Dari pelajar SD hingga mahasiswa. Penggunaan untuk keperluan beragam pun dengan mudah kita jumpai. Dari aktivitas mencari informasi, tren jejaring sosial (social networking), hingga game online dengan berbagai varian. Sangat mudah melacak keberadaan para pelajar di tempat-tempat yang menyediakan jasa layanan internet dan game online. Apalagi internet dapat diakses dengan berbagai fix gadget mulai dari Dekstop PC, hingga portable gadget seperti notebook, PSP (Playstation Portable), I-Pad, ponsel, dan hampir segala macam produk dilengkapi dengan web browser. Singkat kata, Internet seolah-olah menjadi kebutuhan sekunder yang sangat akrab dengan kehidupan sehari-hari.

Internet sebagai “Penyampai Informasi”
Dari deskripsi fakta di atas, harus disadari bahwa hubungan para pelajar -lebih luas lagi masyarakat- dengan internet telah mengubah kehidupan sosial masyarakat, khususnya pelajar, terlepas dari dampak positif dan negatif yang dapat dilihat langsung di kehidupan sehari-hari.
Tidak dipungkiri bahwa pemanfaatan internet sebagai media pendidikan sangat membantu dalam peningkatan mutu pendidikan. Baik terhadap pelajar, guru, sistem administrasi, sistem pembelajaran, dan sebagainya. Keterbatasan informasi yang selama ini hanya didapatkan dari buku, dapat terakomodasi secara tepat dengan kehadiran internet ke sekolah-sekolah.
Berbagai potensi yang dimiliki oleh teknologi dalam pendidikan lantas memungkinkannya diajukan sebagai suatu alternatif untuk membantu memecahkan masalah-masalah pendidikan. Secara umum aplikasi teknologi dalam pendidikan akan mampu:
1. menyebarkan informasi secara meluas, seragam dan cepat
2. membantu, melengkapi dan (dalam hal tertentu) menggantikan tugas guru
3. dipakai untuk melakukan kegiatan instruksional baik secara langsung maupun sebagai produk sampingan
4. menunjang kegiatan belajar masyarakat serta mengundang partisipasi masyarakat
5. menambah keanekaragaman sumber maupun kesempatan belajar
6. menambah daya tarik untuk belajar
7. membantu mengubah sikap pemakai
8. mempunyai keuntungan rasio efektivitas biaya, bila dibandingkan dengan sistem tradisional.
Singkat kata, Jardiknas merupakan salah satu program untuk memanfaatkan internet secara maksimal dalam pendidikan.
Namun yang perlu disadari, dengan peluncuran program Jardiknas ini bukan berarti kita lantas menunggu hasilnya. Harus ada regulasi ketat dan terus-menerus. Koordinasi antara orang tua, sekolah, dan pengelola program sendiri hendaknya dilakukan dengan baik. Hal ini bukan tanpa alasan. Karena faktanya, internet sebagai pusat informasi menyediakan beraneka ragam informasi. Kemampuan memilih informasi yang dibutuhkan menjadi keharusan, terutama di kalangan di pelajar. Penulis tertarik dengan pernyataan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Bangka yang menyebutkan bahwa situs-situs yang tidak berhubungan dengan dunia pendidikan akan diblokir langsung oleh Jardiknas yang kontrolnya berada di bawah Dinas Pendidikan Kabupaten Bangka (Bangka pos, edisi Selasa, 21 Desember 2010). Harus ada kejelasan sistem dan metode web sortir yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Bangka mengingat Internet menyediakan jutaan halaman web. Evaluasi yang dilakukan hendaknya tidak hanya murni evaluasi teknologi, akan tetapi melibatkan faktor sosial dan kultural. Karena main idea internet bukanlah teknologinya, tetapi “How connecting people around the world”. Menurut penulis sendiri, penggunaan internet hanyalah salah satu esensi dari proses pendidikan yang tidak lain adalah penyajian informasi.


Internet sebagai fenomena sosial
Kondisi modern jelas mempengaruhi kepribadian manusia. Pengaruh modernitas terhadap manusia tercermin dari urbanisme, industrialisme, mobilitas, dan komunikasi massa.
Berangkat dari pijakan di atas, fenomena internet bukan hanya dipandang sebagai suatu hal yang benar-benar bergerak di bawah panji teknologi. Hal yang sering dilupakan bahwa ekologi teknologi (internet) yaitu menghubungkan orang-orang dengan menembus dimensi ruang dan waktu. Fenomena internet merupakan fenomena sosial. Karena manusia sebagai user memiliki peran menggali nilai-nilai pendidikan yang terkandung dari fenomena tersebut. Bagaimanapun juga sebuah produk dari teknologi bagaikan dua sisi mata uang. Ada dampak positif dan ada dampak negatif. Tergantung sisi mana yang lebih dominan dalam perkembangannya. Dalam hal ini perlu ketelitian dan penelitian terus-menerus dari berbagai pihak agar program Jardiknas ini mampu mengakomodasi segala perubahan positif.
Toffler menyebutkan bahwa perubahan kehidupan manusia terbagi ke dalam tiga gelombang besar. First wave: gelombang pertanian, second wave: gelombang industri, dan third wave: gelombang teknologi informatika. Jelas sekali bahwa Internet sebagai salah satu produk teknologi informatika dapat membuat perubahan-perubahan dalam kehidupan manusia.
Hal ini sejalan dengan ungkapan Seorang futuris, John Naisbitt. Ia mengemukakan bahwa “Kemajuan teknologi menghasilkan perubahan sosial” . Asumsi ini sangat rasional, karena perbedaan saat ini adalah tingkat percepatan perubahan teknologi sedemikian cepat sampai-sampai akomodasi sosial terhadap teknologi baru semakin tertinggal. Evolusi teknologi berlari jauh di depan evolusi budaya, dan kesenjangan antara keduanya semakin melebar .
Yang terjadi saat ini adalah kurang adanya kesadaran mengenai perubahan yang ditimbulkan internet terhadap habitat/ komunitas (pelajar, mahasiswa, dll) dan hubungan-hubungan di dalamnya. Terlepas dari berbagai aspek, konsekuensi hubungan kita dengan internet tidak banyak dipertimbangkan. Sangat sedikit sekali orang memperhatikan hal ini. Kebanyakan orang melahap total apa yang disajikan internet. Bagaimana pola komunikasi kita, pola ketergantungan kita, sikap kita, apa saja yang tergantikan oleh peran internet. Dengan internet, sebaiknya kita bertanya: apa yang akan menjadi lebih baik?

Alienasi Dan Reduksi Karakter Generasi muda
Zbigniew Brzezinski memperkenalkan istilah masyarakat technetronic , yaitu Peningkatan teknologi intelektual baru (kemudian mengacu pada Hi-Tech) yang lebih dibutuhkan untuk memproses informasi ketimbang memproses segenap kemampuan sumber daya manusia. Kenyataan yang dikemukakan Brzezinki benar adanya jika melihat kepada fakta saat ini. Hal ini merupakan sikap salah kaprah terhadap kemajuan teknologi informasi, khususnya dalam pemanfaatan internet.
Peristiwa ini dapat dilihat pada kenyataan saat ini. Para pengguna internet khususnya di Bangka-dalam hal ini pelajar, mahasiswa, dll- lebih banyak mengumpulkan informasi daripada mengeksplorasi diri dan mengembangkan ide. Kalau tidak percaya, silahkan lakukan riset! Berapa persen dari pelajar kita yang menjadi bloger, netizen, citizen journalist, unjuk bakat, gali potensi, dan berbagai pengembangan diri lainnya. Paling jauh yang dilakukan hanyalah promosi pribadi atau komunitas melalui jejaring sosial (facebook, twitter, dll). Sangat sedikit sekali pelajar kita di Bangka yang membangun pengetahuan dan inspirasi dengan menggunakan internet. Yang dilakukan pelajar kita adalah membuat kuburan informasi. Ketika berbicara konsumsi intelektualitas, sering kali yang dilakukan adalah berada pada kumpulan-kumpulan informasi yang memukau kita dan membuat sulit memilih informasi mana yang kita butuhkan. Karena yang kita lakukan adalah mengubur banyak-banyak informasi dalam memori kita. Bukan membuat suatu kerangka pengetahuan dengan menghubungkan informasi yang relevan.
Selain itu, penggunaan internet lebih memanfaatkan internet sebagai pengisi waktu santai yang kebablasan. Keterlibatan dengan internet pada awalnya hanya untuk iseng, menghilangkan bosan, stress, refreshing, hingga akhirnya menjadi ketagihan. Motif ketergantungan ini dapat dijadikan indikator bahwa keterlibatan para user dengan internet seperti layaknya “seorang mabuk yang mencari bar dan hiburan malam”. Memang, analogi ini mungkin kurang tepat. Namun tendensi dan esensinya sama, yaitu mencari kesenangan sesaat untuk melupakan dan menghindari masalah, terjebak dalam kerumunan (menggunakan internet hanya untuk ikut-ikutan) sehingga kehilangan kreatifitas dan jati diri, dan terjebak rutinitas. Dalam studi sosiologi, inilah yang dimaksud dengan cultural shock, ketimpangan antara ritme kemajuan teknologi dan irama mentalitas manusia.
Indikasi ini mengarah kepada gejala alienasi yang menjadi tema sentral dari pandangan para ilmuan terhadap manusia modern. Tema ini telah ada sejak kritik Karl Mark terhadap sistem kapitalistik. Perhatikan kutipan Mark dan Engels berikut ini: ia menyangkal dirinya sendiri, merasa lebih sengsara ketimbang bahagia, tak mampu mengembangkan kemampuan fisik dan intelektualnya secara bebas tetapi mempermalukan dirinya dan merusak pikirannya.
Alienasi berarti kehilangan dorongan hati untuk bergaul (motif egoisme, atomisasi), kehilangan kreatifitas (motif monoton, kerutinan), dan kehilangan kontrol terhadap tindakan (motif pasivisme), kehilangan otonomi (motif pemujaan komoditi yang merasuki semua orang), dan singkatnya menghancurkan “potensi kemanusiaan”.
Adapun gagasan mengenai kerumunan (sikap ikut-ikutan) memang secara hakiki bertentangan dengan ide mengenai keunikan pribadi. Dalam sikap yang ikut-ikutan ini, kita tidak dikenal sebagai pribadi satu demi satu, melainkan kelompok. Identitas pribadi kita hilang karena larut dalam kelompok yang berkumpul. Yang ada hanyalah kerumunan dengan sifat anonimitasnya. Mengenai terjebaknya manusia dalam kerumunan komunitas (crowd), Soren Kierkegaard mengungkapkan bahwa:
“Pernahkah Anda melihat sebuah perahu yang terjebak dalam lumpur? Perahu itu hampir tidak mungkin berlayar lagi karena tidak bisa didayung lagi… Dayung pun tidak dapat mencapai dasar sungai sehingga tidak ada tumpuan untuk menggerakkan perahu. Demikianlah seluruh generasi terjebak di pinggiran akal-budi yang berlumpur”
Gejala lain dari alienasi dikemukakan oleh Martin Heidegger dalam karyanya Sein und Zeit yang dengan cerdas menggambarkan bagaimana hubungan manusia (Dasein) dengan media/ alat (Zuhandenes ) secara filosofis. Menurut Heidegger, kita begitu kerasan bermukim dalam dunia alat-alat sehingga tidak menyadari lagi ketergantungan kepada teknik itu. Kesinambungan argumen Heidegger di sini dengan kritiknya atas teknik cukup jelas: dalam ketergantungan kita terhadap internet, sudah menentukan kita sebagai bingkai. Sebagai manusia (yang dianggap modern) berarti menjadi diri sendiri dengan perpanjangan melalui piranti-piranti. Seolah-olah hal tersebut menjadi bagian dari diri kita. Hal ini dapat dilihat pada sebagian orang. Bagaimana seseorang merasa tidak percaya diri ketika ponsel lupa dibawa, bagaimana seseorang mati gaya ketika jaringan internet down, seolah-olah semangat untuk berkreatifitas juga menjadi down.
Hal ini sejalan dengan gambaran Lewis Yosblonsky dalam bukunya Robopath tentang peristiwa di akhir tahun 70-an tentang prajurit Amerika yang notabene berpendidikan menyerang sebuah kampung di Vietnam dengan sadis. Ketika seorang prajurit Amerika itu ditanya apa yang dipikirkannya ketika menembaki orang-orang yang tidak bersalah, ia berkata:
“I did not down and think in terms of men, women, and children. They were all classified the same, and that was the classification we dealt withjust so many enemy soldiers. I felt then, and still do, that I acted just was directed, and I carried out the orders that I was green, and I do not fell wrong in doing so…”
Lokus Kutipan di atas bukanlah pada tindakan yang mereka lakukan. Namun bagaimana pembentukan psikologis yang mereka (prajurit Amerika) yang dimulai dari suatu pembentukan mesin-mesin mekanis dari pada pembentukan pribadi manusia. Meminjam istilah Yosblonsky, potongan pengakuan di atas menyiratkan bahwa kebanyakan manusia-manusia modern (Era teknologi informasi) sudah menjadi robopath, yaitu makhluk yang lahir dalam masyarakat yang memuja efisiensi, keteraturan yang ketat, prediktibilitas, yang semuanya mekanis. Hal inilah yang mesti disadari oleh kita semua.
Tahap pengkerdilan inti manusia ini tidak hanya sampai di sini, jika hal dianggap sebagai ketakutan yang berlebihan, dan bila tidak disikapi, bukan tidak mungkin robopath ini mengalami metamorphosis menjadi zombie . Karakter zombie merupakan penggambaran yang tepat terhadap tahap alienasi.
Selain zombie, C. Wright Mills menyebut istilah Cheerful Robot, yaitu manusia yang berusaha mengatasi kecemasan eksistensial mereka dalam hiburan, kenikmatan sensual (dan terutama sekali, seksual). Dalam keadaan ini, manusia yang melarikan diri dari kegelisahan jiwanya dengan mengonsumsi produk-produk (berupa barang dan jasa) yang mewah, atau melakukan wisata ke tempat-tempat yang menyenangkan, atau melakukan berbagai macam permainan, atau menenggelamkan diri dalam kenikmatan sensual (dan seksual). Semuanya dilakukan tanpa kesadaran psikologis (psychological conscious) dan tunduk pada rekayasa psikologis berupa kesenangan-kesenangan sesaat.
Dengan deskripsi di atas, silahkan analisis dan bandingkan sendiri dengan berbagai kasus misalnya: masalah pelecehan seksual antar pelajar, kehamilan di luar nikah, pornografi di kalangan generasi muda kita. Masalah ini dimulai dan diketahui melalui informasi awal yang diterima oleh mereka melalui berbagai media, salah satunya adalah internet sebagai pusat informasi.

Epilog
Pembahasan di atas mungkin dianggap terlalu ekstrem dan berlebihan. Namun hal inilah yang dimaksudkan penulis, mengingat selama ini tulisan-tulisan mengenai teknologi (khususnya internet) lebih dipandang sebagai fenomena teknologi sendiri. Padahal, ketika teknologi sampai di tangan manusia, maka ia bukan hanya sekedar kajian teknologi murni. Kebanyakan tulisan memandang teknologi sebagai prioritas kajian, sehingga yang tampak kadang-kadang hanya keunggulan serta kelemahan fitur dari suatu teknologi, dalam hal ini internet. Tulisan ini hanya sebuah awal dari berbagai kemungkinan, yang memerlukan tindak lanjut dari berbagai pihak.
Hal yang sering dilupakan oleh kebanyakan kita adalah ekologi teknologi, yaitu bagaimana ketika internet digunakan oleh suatu habitat (dalam hal ini generasi muda) yang tentu saja mempunyai kultur dan kualitas kemanusiaan yang berbeda baik dipengaruhi oleh faktor geografis, sosial, budaya, psikologis. Bagaimana sikap terhadap internet di kalangan pelajar kita di tengah hiruk pikuk modernitas? Bagaimana kesiapan kondisi intelektual, emosional, dan spiritual generasi muda kita di tengah dunia dimana manusia bukan lagi sebagai makhluk innosen yang lahir untuk mendambakan kebahagiaan dan ketentraman jiwa dalam arti yang sederhana? Seberapa besar kontribusi internet dalam pengembangan diri generasi muda di saat manusia bekerja sangat keras untuk menghidupi gaya, beban psikologi artifisial, beban ekonomi? Adakah nilai-nilai yang hilang dan tergantikan di tengah-tengah arus komunikasi informasi global yang lebih cepat dari hitungan detik jarum jam?
Pertanyaan-pertanyaan di atas tentunya menuntut sikap partisipatif-proaktif bagi segenap kalangan yang peduli terhadap generasi muda kita. Kita tidak boleh merasa “cukup aman” hanya dengan “memblokir situs-situs yang tidak berhubungan dengan pendidikan”. Penulis tergelitik untuk kembali mengajukan pertanyaan di awal, Apa yang menjadi lebih baik?

Rujukan
Miarso, Yusuf Hadi, 1981. Penerapan Teknologi Pendidikan di Indonesia, Jakarta: Universitas Terbuka.
Sztompka, Piotr, 2010. The Sociology of Social Change, Terj: Alimandan, Jakarta: Prenada Media Group.
Naisbitt, John, 2007. Mind Set, Jakarta: Daras books.
Nadjib, Emha Ainun, 2007. Tidak. Jibril Tidak Pensiun, Yogyakarta: Progress.
Tjaya, Thomas Hidya, 2010. Kierkeegard dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri, Jakarta: KPG.
Hardiman, Frans Budi, 2008. Heidegger dan Mistik Keseharian: Suatu Pengantar Menuju Sein und Zeit, Jakarta: KPG.
Rakhmat, Jalaluddin, 2006. Islam dan Pluralisme, Akhlak Quran Menyikapi Perbedaan, Jakarta: Serambi.
Bangka Pos, edisi Selasa, 21 Desember 2010, Tribun Bangka, Dinas Pendidikan Luncurkan Jardiknas, Jaringan Internet Gratis di Sekolah