Kamis, Juli 29, 2010

Kelemahan Pendidikan Madrasah

a. Aspek paradigma pendidikan madrasah
Salah satu aspek kelemahan pendidikan madrasah adalah paradigma pendidikan madrasah yang masih konvensional. Paradigma pendidikan madrasah cenderung ekslusif bukannya inklusif. Dari ekslusivitas ini, maka dihasilkan sistem pendidikan yang cenderung dikotomis dan eskapatis. Paradigma bahwa pendidikan agama di atas segala-galanya tidaklah salah. Namun, seorang manusia dapat hidup di dunia dengan survive dengan adanya lifeskill atau keterampilan. Pemusatan pada sentral dasar-dasar agama tidak harus mengenyampingkan ilmu-ilmu umum. Agama Islam memang agama wahyu dan memang membuka ruang multi interpretation. Pemahaman hubungan vertikal seringkali dipisahkan dengan pemahaman horizontal. Padahal menurut penulis, horizontal itu juga vertikal dalam pemahaman agama. Yang vertikal menjadi dalam dengan meluasnya garis horizontal, yang horizontal menjadi luas dengan mendalamnya garis verikal. Artinya tidak ada dikotomis antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Nilai-nilai agama konvensional ditransformasikan ke dalam paradigma yang lebih dinamis, yang lebih rasional dan proaktif sehingga dihasilkan sumber daya manusia yang dinamis, aktif, mengamalkan nilai-nilai agama namun tetap concern dan kontributif dalam perkembangan sosial-budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi, bukan menjadi manusia parsial dan fakultatif. Maka langkah strategis yang dilakukan adalah reorientasi paradigma pendidikan Islam.
b. Aspek perencanaan organisasi madrasah
Kelemahan lain dari pendidikan madrasah adalah kurangnya perencanaan organisasi madrasah. Diawali dari perencanaan pendirian madrasah. Sebagian besar lembaga madrasah didirikan oleh yayasan atau lembaga keagamaan, motivasi terbesarnya adalah melaksanakan dakwah Islamiah yang dapat menghasilkan peserta didik yang berilmu dan mengamalkan ilmu-ilmu agama untuk bekal di akherat nanti. Hal ini paralel dengan motivasi utama para orang tua memasukkan anaknya ke madrasah. Motivasi ibadah ini kurang disertai dengan rasionalisasi yang tepat sehingga (sebagian besar) pendirian madrasah tanpa disertai dengan persiapan yang mantap, baik dari segi regulasi, administrasi, tenaga pendidik, sarana, fasilitas, dan finansial. Selain itu, tata letak madrasah kadang terasa kurang strategis. Selain itu, kualifikasi pendidik baik secara kuantitas maupun kualitas sangat minim. Hal ini diperparah dengan kurangnya perhatian para santri terhadap ilmu-ilmu umum. Namun, sekarang ini antara Ilmu agama dan ilmu umum telah terjadi keseimbangan mengenai perhatian.
c. Aspek metodologi pembelajaran (realitas operasional) madrasah
Pembelajaran saat ini, baik di madrasah maupun sekolah umum masih cenderung doktriner. Akibat yang terjadi adalah lebih mementingkan materi di atas metodologi (manhaj), mementingkan memori di atas analisis dan dialogis. Artinya pembelajaran masih terasa tekstual dan tidak kontekstual, pembelajaran masih didominasi oleh pengetahuan kognitif dan belum begitu menyentuh ke wilayah psikomotorik. Padahal dalam Islam sendiri adanya keseimbangan antara iman, ilmu, dan amal. Selain itu, pendidikan madrasah mementingkan pikiran vertikal di atas literal. Maksudnya, pendidikan Islam hanya menyentuh aspek-aspek normatif saja, ajaran-ajaran agama diterima secara take for granted dan tidak dipermasalahkan lagi. Sehingga yang terjadi adalah pembekuan nalar kritis peserta didik.

“Pendidikan Islam berwatak dinamis dan bagian integral dari konsep tentang kehidupan yang lahir dari risalah Islam”

Upaya besar membangun pendidikan Islam di era global tercermin dengan salah satu langkah strategis “Pendidikan Islam berwatak dinamis dan bagian integral dari konsep tentang kehidupan yang lahir dari risalah Islam”. Sebelum menentukan langkah alternatif dari langkah strategis di atas, ada baiknya penulis menghadirkan potret pendidikan Islam saat ini.
Pendidikan agama selama ini mengharuskan peserta didiknya tidak boleh ada kesalahan. Padahal, seorang pribadi itu tunduk ketika ada pengalaman salah. Akibatnya, pendidikan agama cenderung melahirkan mental hetenomi. Artinya, kebaikan tidak tumbuh secara autentik dari dalam, tetapi kebaikan itu ditandai dengan ketundukan. Hal semacam ini tidak memberi peluang kepada peserta didik untuk melakukan trial and error. Pendidikan Islam saat ini lebih bersifat verbalistis yang menekankan pada aspek indoktrinasi dan penanaman nilai ala kadarnya daripada penumbuhan daya kritis dan pengembangan intelektualisme. Karena sifatnya yang doktriner, maka “perbuatan salah” dianggap sebagai suatu “dosa”. Pendidikan semacam ini, di satu sisi memang dapat mendorong anak untuk menjadi orang yang santun, tunduk pada perintah dan bertingkah laku mulia. Namun di sisi lain, penumbuhan daya kritis dan pengembangan kreativitas berpikir anak akan menjadi terabaikan. Pendidikan Islam yang seperti ini akan melahirkan sosok peserta didik yang parsial, yaitu:
a. Tidak memiliki kecerdasan intelektual dan spiritual karna yang ada di depan mata hanya berupa aturan-aturan rigid yang mengikat, sehingga daya gerak intelektualnya menjadi terbatas. Dalam situasi demikian, pendidikan Islam menjadi jauh dari pergulatan intelektual. Sebaliknya, ia hanya menjadi sarana untuk menanamkan nilai-nilai yang hasilnya juga masih diragukan.
b. Tidak memiliki pemahaman keagamaan yang terbuka, toleran, dan inklusif. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari model pengajaran doktriner. Sifat dari pengajaran doktriner adalah penumbuhan kesetiaan secara taken for granted atas agama, karenanya konservatisme menjadi tak terhindarkan, bahkan jiwa integral dan kritis menjadi jauh.
Menghindari dari output seperti yang disebutkan di atas, maka pendidikan Islam yang berwatak dinamis dan bagian integral dari konsep tentang kehidupan yang lahir dari risalah Islam di era modern sebagaimana saat ini, dalam dimensi horizontal umat beragama harus “memberanikan diri” untuk berdialog dan bertukar pikiran dalam persoalan horizontal dengan siapa saja. Dengan membuka diri terhadap kultur yang dibangun oleh pemeluk lintas agama dan tetap mempertahankan substansi ajaran agama yang diyakini, seseorang akan tetap menjadi kritis baik dalam filsafat, membangun budaya, dan lain-lainnya. Pemahaman ini penting untuk membangun integralisasi, dan dinamika kemanusiaan, bahkan membangun kebersamaan dan keharmonisan kehidupan umat beragama di muka bumi. Namun, kebebasan berpikir dalam rangka pendidikan Islam yang dinamis ini tetap mengacu pada kaidah ajaran Islam, bukannya berpikir dan berkarya yang apologi atau bahkan kebablasan. Jelas sekali bahwa pendidikan Islam yang progress secara horizontal sangat urgen. Dalam hal ini, pemahaman positif terhadap wacana ini merupakan suatu keharusan, bukan saja karena tuntutan objektif dari realitas kehidupan modern, karena pendidikan Islam yang berwatak dinamis ini merupakan manifestasi dari risalah Islam sebagai pembawa nilai-nilai rahmatan lil’alamin. Hanya saja dinamisasi pendidikan Islam perlu dibatasi hanya menyangkut persoalan peradaban umat manusia dan kehidupan sosial (human relation) antar umat yang tidak bertentangan dengan “titah” Allah sesuai dengan pesan yang terkandung dalam surah Al-Kafirun 1-6.
Pendidikan Islam yang doktriner dan parsial sangat kontradiktif dengan konsep pendidikan Islam yang integral, sebagai instrument strategis bagi upaya pengembangan potensi kemanusiaan, maka dalam batasan ideal, pendidikan merupakan sebuah proses pembebasan manusia dari segala bentuk belenggu, sesuai dengan batas-batas yang diberikan Allah untuk ruang jelajahnya. Oleh karena itu, pendidikan Islam yang doktriner merupakan proses penciptaan belenggu yang cukup fatal bagi tumbuhnya dinamika Intelektual, emosional, dan spiritual seorang peserta didik. Integralisasi pendidikan Islam dapat dilakukan dari tahap yang paling fundamental, yaitu transformasi nilai-nilai teologi yang biasa bersifat normatif menjadi nilai-nilai kehidupan yang proaktif, dinamis, rasionalisasi nilai-nilai tersebut dalam setiap kehidupan sebagai manifestasi risalah Islam. Akhirnya, Langkah-langkah alternatif yang dapat dilakukan dalam membangun paradigma pendidikan Islam yang berwatak dinamis dan dan bagian integral dari konsep tentang kehidupan yang lahir dari risalah Islam diantaranya : pertama, Menata kembali sistem pendidikan Islam yang tidak parsial. Jalan yang dapat ditempuh adalah pada saat proses pembelajaran dilakukan. Tatkala proses pembelajaran dilaksanakan, harus dikaitkan juga dengan dimensi religius peserta didik. Kedua, pembinaan dan peningkatan kompetensi pendidik secara simultan melalui proses yang baik. Ketiga, melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi ulang sistem pendidikan dengan roh ajaran Islam, baik dalam tatanan teoritis, historis, maupun praktis.
Oleh karena itu jelaslah bahwa yang dimaksud dengan pendidikan Islam yang berwatak dinamis dan bagian integral dari konsep kehidupan yang lahir dari risalah Islam di sini bukanlah dalam arti pendidikan ilmu-ilmu agama Islam yang pada gilirannya mengarah pada lembaga-lembaga pendidikan Islam semacam madrasah, pesantren atau UIN. Akan tetapi yang dimaksud dengan pendidikan Islam di sini adalah menanamkan nilai-nilai fundamental Islam kepada setiap Muslim terlepas dari disiplin ilmu apapun yang akan dikaji.

Tantangan Lembaga Pendidikan Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek

a. Politik
Perubahan dan dinamika politik di Indonesia merupakan salah satu warna lain dalam pendidikan Islam. Wacana di bidang politik ikut mempengaruhi kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan lembaga atau institusi pendidikan Islam. Persepsi positifnya adalah bila kebijakan-kebijakan tersebut mempunyai pengaruh yang bersifat rekonstruktif terhadap lembaga pendidikan Islam, maka “angin segar” menuju pembangunan pendidikan Islam yang dinamis dan progress dapat diharapkan. Namun, implikasi negatifnya adalah jika kebijakan-kebijakan dari para elit politik tersebut terkesan mengebiri vitalitas pendidikan Islam, maka konsekuensi logis yang diterima pendidikan Islam adalah keterkungkungan dalam kejumudan (stagnant). Karena Kebijakan di bidang politik ini juga berdampak pada pengalokasian dana terhadap lembaga pendidikan serta implementasi dari kurikulum sebagai panduan dalam pengembangan pendidikan Islam.
Selain itu, top rating sebagai institusi pendidikan Islam ikut memberikan pengaruh politik yang cukup signifikan. Tataran ekstremnya begini, jika para elit politik “mengendarai” nama besar institusi pendidikan Islam sebagai tunggangan politiknya, dan setelah hasrat politiknya terpenuhi dan keadaan lembaga pendidikan Islam tersebut tidak mengalami perubahan yang progresif, maka persepsi publik akan penuh dengan negatifitas terhadap lembaga tersebut. Realitas seperti ini dikhawatirkan memandulkan gerak pendidikan agama. Karena nalar kritis pendidikan agama didominasi oleh kepentingan politik yang tidak mempunyai positive influence terhadap lembaga pendidikan tersebut. Visi pendidikan Islam akhirnya sulit berubah.
b. Kebudayaan
Quo vadis lembaga pendidikan Islam di Indonesia di bidang kebudayaan adalah tingkat konservatif yang tinggi dan masih cenderung ekslusif. Padahal kita ketahui sendiri bahwa Indonesia terdiri dari berbagai suku, ras, bangsa dan agama. Konservatif memang diperlukan dalam menjaga internalisasi akidah Islam ke dalam jiwa insan. Namun, dalam hal ini penulis setuju dengan pemikiran Muhammad Arkoun bahwa konservatif yang negatif adalah sebuah apologia atau kebablasan. Tantangan di bidang kebudayaan adalah bahwa pendidikan saat ini belum inklusif, toleran, dan terbuka. Dalam kebudayaan, tantangan juga terletak pada mainstream kebudayaan kita yang cenderung rigid sehingga menciptakan output yang parsial, yaitu: pertama, memiliki kemampuan intelektual yang mampu menguasai poin-poin penting namun kurang mampu menghayati nilai-nilai agama. Akibatnya, seringkali berbagai hasil olah keterampilannya kurang memperhatikan nilai-nilai moralitas bahkan terkesan untuk memperkaya pribadi atau golongan tertentu. Kedua, memiliki kemampuan intelektual dan mampu menghayati nilai-nilai ajaran agama namun kurang mampu menguasai aspek-aspek kebudayaan. Ketiga, memiliki kemampuan intelektual yang mampu menguasai ajaran agama, akan tetapi tidak mampu menghayati nilai-nilai luhur sebagai substansi ajaran Islam. Akibatnya, muncul para “ulama” secara keilmuan, tetapi “menggadaikan” agama dalam praktik budaya dan kurang mampu melakukan rekonstruksi nilai-nilai budaya sesuai dengan ajaran Islam. Alhasil, seringkali terjadi pertentangan antara kebudayaan dan agama. Budaya dan agama terjadi tumpang tindah dan kontradiksi. Kurangnya sinergi yang baik antara kedua hal ini membuat pendidikan Islam tidak memberikan roh dalam kebudayaan bahkan terkesan sebagai justifikasi terhadap kebudayaan. Sedangkan kita tahu sendiri bahwa kebudayaan merupakan suatu hal yang paling melekat dalam kehidupan sehari-hari. Orientasi dari sekedar mendidik mereka untuk memahami ilmu (pengetahuan) agama an sich haruslah diubah menjadi paham terhadap ilmu agama sekaligus ilmu sosial, ilmu humaniora dan ilmu alam. Ilmu agama dan “ilmu duniawi” harus konvergen. Sayangnya lembaga pendidikan Islam terlalu lambat menyadari ketertinggalan ini. Tokoh pendidikan kita terlalu berpikir konservatif dan masih terjebak pada dikotomi antara pendidikan agama-pendidikan umum. Padahal dikotomi itu justru mematikan kreatifitas. Untunglah, dalam batas tertentu sebagian kecil yang berlatar pendidikan “sekuler” relatif lebih cepat menyadari kejumudan. Tidak heran, dewasa ini di perguruan tinggi umum diajarkan pula ekonomi Islam, sosiologi agama (Islam), psikologi Islam, antropologi agama (Islam) dan lainnya.
c. IPTEK
Teknologi modern telah memungkinkan terciptanya komunikasi bebas lintas benua, lintas negara, menerobos berbagai pelosok perkampungan di pedesaan dan menyelusup di gang-gang sempit di perkotaan, melalui berbagai perangkat multimedia. Toffler dalam The Thirth Wave, menyebutkan perkembangan arus teknologi dan ilmu pengetahuan sebaga salah satu gerbang menuju perkembangan umat. Contoh konkritnya adalah televisi, dapat dijadikan alat yang sangat ampuh di tangan sekelompok orang atau golongan untuk menanamkan atau, sebaliknya, merusak nilai-nilai moral, untuk mempengaruhi atau mengontrol mindset seseorang oleh mereka yang mempunyai kekuasaan terhadap media tersebut. Titik persoalannya adalah terletak pada siapa yang menguasai teknologi dan komunikasi global tersebut. Prediksi positifnya, jika alat-alat teknologi dan komunikasi global tersebut dikuasai oleh orang-orang muslim yang selalu menjaga nilai-nilai Islam, maka teknologi akan berdampak positif bagi perkembangan pendidikan Islam ke depan. Prediksi negatifnya, jika alat-alat teknologi dan komunikasi global serta ilmu pengetahuan berada di genggaman orang-orang yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam, maka akan terjadi distorsi dan blur antara baik dan buruk, kebenaran sejati maupun yang bersifat artifisial atau fasiq.
Selain itu, saat ini sangat identik dengan ilmu pengetahuan dan perkembangan teknologi yang pengkajiannya dilakukan dengan riset dan penelitian yang terus-menerus. Dengan jiwa keilmuan ini tentu saja para ilmuan telah memberikan kontribusi kepada seluruh dunia dengan harapan memberikan kebenaran dan membawa kemashlahatan. Namun, yang perlu dikaji ulang adalah kebenaran yang bagaimana jika dihasilkan dari orang-orang yang kadang terdapat diferensiasi ekstrem secara prospektif terhadap batasan-batasan etika, moral, dan internalisasi akhlak.
d. Ekonomi
Perkembangan di bidang ekonomi, secara makro tentu saja berkaitan dengan globalisasi. Sebagai dampak ketidak siapan menghadapi globalisasi di bidang ekonomi, Dunia sekolah yang semestinya mampu menjawab tantangan global, justru ikut-ikutan terpuruk. Sebagai laporan: Survei Angkatan Kerja Nasional menunjukkan, dari 10 juta penganggur usia kerja, 55 persen berpendidikan sekolah menengah (BPS, 2008). Rendahnya daya adaptsi lulusan sekolah memenuhi tuntutan pasar kerja kian menjadi persoalan mengatasi pengangguran. Data di atas merupakan gambaran ekonomi Indonesia dalam hal pendidikan. Dalam ruang lingkup pendidikan Islam, setidaknya ada dua perspektif yang penulis ajukan tentang tantangan pendidikan Islam di bidang ekonomi.
Pertama, dari perspektif pemerintah. Sektor ekonomi suatu negara tentunya digunakan sebagai backbone support bagi pengembangan segala sektor termasuk pendidikan. Rendahnya tingkat ekonomi suatu negara tentu akan berakibat kepada anggaran pendidikan. Anggaran pendidikan mempunyai hubungan paralel dengan kualitas pendidikan, khususnya dalam hal ini adalah pendidikan Islam. Jika anggaran besar maka kualitas meningkat. Ini silogisme yang dihasilkan. Dewasa inipun anggaran negara yang dicangkan untuk program pendidikan di negara-negara Islam relatif sangat rendah sehingga infrastruktur pendidikan yang mutlak diperlukan tidak atau jarang tersedia. Perbandingan dengan negara tetangga kita Malaysia, negara Islam yang relatif maju program pendidikannya ini, menurut UNESCO (1996) hanya mengalokasikan dana 82 $ US perkapita, sementara Indonesia sendiri hanya mengalokasikan 6 $ US perkapita. Hal ini menimbulkan dampak-dampak yang tidak efektif, seperti:
a. Pelajar yang hendak memperdalam ilmunya terpaksa harus pergi ke luar negeri yang biayanya relatif lebih mahal apalagi kalau tujuan belajarnya di negara-negara maju. Sementara kecenderungan belajar ke luar negeri ini menimbulkan persoalan tersendiri khususnya bagi mereka yang secara ekonomis kurang mampu.
b. Kurangnya anggaran untuk regulasi, administrasi, operasional, dan lain-lain akan sangat mempengaruhi kinerja pendidikan Islam.
Kedua, dari perspektif peserta didik dan orang tua. Lemahnya ekonomi orang tua tentu saja akan menjadi penghambat bagi peserta didik. Misalnya berkaitan dengan biaya-biaya serta fasilitas yang dimiliki.
e. Kemasyarakatan
Paradoks lainnya berkaitan dengan stigma baru yang mendera lembaga-lembaga pendidikan agama. Dewasa ini lembaga pendidikan Islam mendapat citra baru, yakni mengajarkan radikalisme. Padahal kalau diperiksa tidak semua pesantren mengajarkan pendidikan dengan orientasi yang mengarahkan peserta didik berbuat radikal. Islam agama damai dan menyejukkan (hanif) mesti tetap menjadi pesan pokok pengajaran mulai dari tingkat ibtidaiyah sampai perguruan tinggi. Radikalisme dalam pengajaran biasanya memunculkan radikalisme dalam tindakan. Tantangan lain di bidang kemasyarakatan adalah konformisme. Konformisme adalah merasa puas dengan keadaan sekarang. Sikap cepat puas masyarakat terhadap suatu lembaga pendidikan membuat daya kreatifitas suatu lembaga pendidikan Islam menjadi gundul. Dalam artian, pendidikan Islam dapat kehilangan “roh” dinamis dan cenderung bergerak lamban.
Selain hal di atas, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap suatu lembaga pendidikan juga menjadi factor berkembang atau tidaknya suatu lembaga pendidikan Islam. contoh faktualnya: asumsi publik bahwa lembaga pendidikan Islam merupakan lembaga pendidikan kelas dua setelah lembaga pendidikan umum. Persepsi ini bukan tanpa alasan. Realitas praktisnya, lembaga pendidikan Islam cenderung mengandalkan dasar-dasar agama saja sebagai bekal kehidupan peserta didik di masyarakat. padahal, hal tersebut tidaklah cukup. Perlu adanya elaborasi nilai-nilai Islam yang disinergikan dengan ilmu-ilmu sosial lainnya, sehingga mampu menciptakan peserta didik yang mumpuni dari segi sosial kemasyarakatan namun tetap terintegral dengan nilai-nilai ajaran Islam.
Pendidikan dasar agama masih menjadi andalan, sebagai bekal mengajarkan pendidikan agama lebih lanjut kepada masyarakat, akan tetapi hal ini saja tidak cukup. Harus diikuti dengan bekal pengetahuan lainnya yang kontekstual dengan perkembangan sosial. Sekalipun di lembaga tertentu ada pembaruan kurikulum, namun sifatnya masih parsial. Secara keseluruhan kurikulum pendidikan Islam masih konservatif. Implikasinya sangat serius ketika para lulusannya (SDM) menghadapi perubahan di luar dunia pendidikan mereka. Dunia ini jauh lebih kompleks daripada yang mereka pelajari dan bayangkan selama berada di tempat belajar-mengajar tadi. Pluralitas sosial dan kemanusiaan di tengah masyarakat membuat mereka gagap. Indonesia yang mereka diami rupanya sebuah entitas yang berwarna.
f. Sistem nilai
Ketika berbicara mengenai tantangan lembaga pendidikan Islam pada sistem nilai yang berlaku, maka masalah sebenarnya adalah sejauh mana kontribusi lembaga pendidikan Islam mampu menghasilkan sumber daya manusia yang mampu dalam mengcover seluruh kehidupannya bernafaskan risalah Islam yang luhur. Sistem nilai sangat berkaitan dengan transformasi sosial-budaya yang berkembang. Saat ini pendidikan Islam (sebagian besar) hanya mampu mendominasi pada tataran teoritik, pendidikan Islam dipandang hanya mampu menghasilkan “ulama” dalam artian tradisional. Kosmologi mediasi ini membuat sumber daya manusia dari lembaga pendidikan Islam kurang “greget”.
Sikap moderasi, di satu sisi, menghendaki pendidikan Islam tidak terjatuh dalam sikap ekstremitas pemikiran maupun tindakan yang bisa mengakibatkan ekses-ekses kontraproduktif bagi masyarakat, negara dan bangsa. Hal ini jelas merupakan sebuah modal sosial-budaya (socio-cultural capital) yang telah menjadikan mereka survive dalam kerasnya percaturan kehidupan, sekalipun dituding oleh “musuh-musuh” mereka dan sejumlah ilmuwan sebagai bentuk sikap oportunistik. Sikap semacam inilah yang dipuji oleh banyak pihak sebagai kelenturan pendidikan Islam dalam menghadapi berbagai tantangan dan cobaan dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun demikian, proses pengerdilan, pengeroposan dan pembusukan nilai selalu terjadi dalam proses-proses sosial-budaya. Pembusukan itu terjadi pada pereduksian makna moderasi itu sendiri yang seringkali mengebiri “libido” lembaga pendidikan Islam untuk menjadi yang terbaik dalam seluruh proses kontestasi. Dalam ungkapan yang sederhana, proses pembusukan itu terjadi ketika kosmologi moderasi berubah menjadi mediokrasi, di mana kapasitas produk dari model pendidikan Islam dianggap menempati “kelas dua” karena tidak bisa bersaing dengan produk dari lembaga-lembaga sekuler.
Dalam derajat tertentu, kosmologi moderasi dalam tubuh lembaga pendidikan Islam banyak diilhami oleh doktrin-doktrin Aswaja yang sudah kesohor seperti: filosofi “jalan tengah” (tawassut), berdiri tegak lurus, tidak condong ke kanan maupun ke kiri (i’tidal) dan keseimbangan (tawazun). Sikap-sikap semacam inilah yang belakangan memola dan membentuk karakter kepribadian lembaga pendidikan Islam dalam banyak aspeknya, sekalipun variasi dan pengecualian-pengecualian bisa saja ditemukan di antara mereka.
Lagi-lagi, ancaman pengeroposan karakter lembaga pendidikan Islam bisa saja terjadi jika lembaga pendidiakn Islam tidak dewasa dan bijaksana dalam mengimplementasikan doktrin tersebut. Konsekuensi lebih jauh dari proses pengeroposan dimaksud bisa kita saksikan, misalnya, dalam lemahnya lembaga pendidikan Islam untuk mengambil inisiatif perubahan dalam sejumlah sektor di kehidupan publik. Akibatnya, potensi lembaga pendidikan Islam yang begitu besar tidak terblow-up secara maksimal menjadi sebuah dentuman sosial-intelektual yang menggetarkan urat nadi kehidupan bangsa. Memang ada sejumlah deviasi kasus dan pengecualian, tetapi prosentasenya sangatlah kecil. Dengan kata lain, kosmologi moderasi menciptakan manusia-manusia dengan kualitas sumber daya manusia medioker yang tertinggal dari komunitas lainnya. Doktrin moderasi, pada gilirannya, berakumulasi menjadi mediokrasi.

PEMIKIRAN TASAWUF JUNAID AL-BAGHDADI, ABU YAZID AL-BUSTHAMI, MANSUR AL-HALLAJ

BAB I
PENDAHULUAN

a. Latar Belakang
Sebuah konsep merupakan dasar pijakan untuk menentukan arah kemana kita berjalan. Diibaratkan mata air, maka akan membentuk berbagai aliran air dan namun tujuannya satu, yaitu muara. Begitu juga dengan konsep dalam tasawuf yang secara tematis dapat termanifestasikan dalam bentuk kondisi spiritual. Kondisi ini merupakan inti dari segala ibadah yang dilakukan yakni kecintaan dan kedekatan dengan Tuhannya. Hal inilah yang mendorong penulis untuk membedah pemikiran tasawuf Al-Junaid Al-Baghdadi, Abu Yazid Al-Busthami, dan Al-Hallaj. Mereka pada masanya telah menambah goresan keanekaragaman bentuk tasawuf. Busthami dengan ajaran al-ittihadnya telah dikembangkan oleh Al Hallaj melalui ajarannya al hulul. Kedua bentuk ajaran ini tidak memiliki banyak perbedaan, karena Al Hallaj meneruskan jejak seniornya Busthami. Ketiga tokoh sufi par excellent ini dibahas secara bersamaan dikarenakan mereka hidup pada masa yang hampir sama, yaitu abad ke 3 dan ke 4 H dan mempunyai benang merah konsep dasar yang sangat populer dengan tema fana. Namun fana mempunyai interpretasi yang multimakna. Orang yang merenungkan apa yang telah disebutkan oleh para sufi tentang fana akan menemukan arti lebih dari satu. Sehingga fana kadang menunjukkan sebuah arti etika saat mereka mendefinisikannya sebagai sifat sebuah jiwa (nafs) atau hilangnya sifat-sifat tercela. Mereka juga beranggapan bahwa fana adalah sirnanya kehendak manusia, dan keberadaannya dalam kehendak Tuhan. Kondisi ini dapat mengacu dalam ayat al-Qur’an yang menyatakan “Maka tatkala wanita-wanita itu melihatnya, mereka kagum kepada (keelokan rupanya), dan mereka melukai (jari tangannya)”.(QS. Yusuf: 31).
Fana berarti hilang atau hancur. Setelah diri hancur, diikuti oleh ¬al-baqa, yang berarti tetap, terus hidup. al-fana dalam pengertian umum dapat dilihat dari penjelasan Al-Junaid: “hilangnya daya kesadaran kalbu dari hal-hal yang bersifat indrawi karena adanya sesuatu yang dilihatnya. Situasi yang demikian akan beralih karena hilangnya sesuatu yang terlihat itu dan berlangsung terus silih berganti hingga tiada lagi yang disadari dan dirasakan oleh indra”. Konsep fana inilah yang mendasari serta mendominasi pemikiran tasawuf pada abad ke 3 dan ke 4 H, termasuk pemikiran tasawuf Al-Junaid, Abu Yazid Al-Busthami dan Al-Hallaj. Dari pemaparan di atas, tepat sekali jika ketiga tokoh ini dibahas dalam satu pembahasan secara holistik.

b. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pemikiran tasawuf Al-Junaid , Abu Yazid Al-Busthami dan Al-Hallaj?

BAB II
PEMBAHASAN


a. Al-Junaid
1. Biografi dan Pemikiran Tasawuf Al-Junaid Al-Baghdadi
Al-Junaid adalah salah seorang sufi terkemuka di samping seorang ahli fiqih. Dalam fiqih beliau bermadzhab kepada Imam Abu Tsaur. Al-Junaid sudah memberikan fatwa-fatwa hukum dalam madzhab tersebut dalam umurnya yang baru 20 tahun. Beliau lama bergaul dan belajar kepada pamannya sendiri, yaitu Imam Sirri as-Saqthi, lalu kepada al-Harits al-Muhasibi, Muhammad ibn al-Qashshab al-Baghdadi, dan sufi terkemuka lainnya. Di kalangan sufi Al-Junaid dikenal sebagai pemuka dan pimpinan mereka dengan gelar Sayyid ath-Tha-ifah ash-Shûfiyyah .
Abu Ali ar-Raudzabari berkata: “Saya mendengar Al-Junaid berkata kepada orang yang mengatakan bahwa ahli ma’rifat dapat sampai kepada suatu keadaan yang tidak lagi baginya untuk berbuat apapun, –Artinya menurutnya orang tersebut boleh meninggalkan pekerjaan-pekerjaan yang telah diwajibkan–, Al-Junaid berkata kepadanya: “Ini adalah perkataan kaum yang berpendapat segala perbuatan-perbuatan akan gugur. Dan ini bagiku adalah sesuatu yang sangat berbahaya. Seorang pelaku zina dan seorang yang mencuri jauh lebih baik dari pada orang memiliki pendapat seperti itu. Sesungguhnya, orang-orang yang ‘Ârif Billâh adalah mereka yang mengerjakan seluruh pekerjaan sesuai perintah Allah, karena hanya kepada-Nya pekerjaan-pekerjaan itu kembali. Andaikan aku hidup dengan umur 1000 tahun, dan aku tidak meninggalkan kebaikan sedikitpun selama umur tersebut, maka kebaikan itu tidak akan dianggap oleh Allah kecuali bila sesuai dengan apa yang telah diperintahkannya. Inilah keyakinan yang terus memperkuat ma’rifat-ku dan memperkokoh keadaanku” .
Sejak kecil, Al-Junaid terkenal sebagai seorang anak yang cerdas, sehingga sangat mudah dan cepat belajar ilmu-ilmu agama dari pamannya. Karena kecerdasannya itu, ketika berumur tujuh tahun, Al-Junaid telah diuji oleh gurunya dengan sebuah pertanyaan tentang makna syukur. Kehidupan Al-Junaid al-Baghdâdî, di samping sebagai seorang sufi yang senantiasa mengajarkan ilmunya kepada murid-muridnya, ia juga sebagai pedagang barang-barang pecah belah di pasar tradisional. Selesai berdagang, beliau pulang ke rumah dan mampu mengerjakan salat dalam waktu sehari semalam sebanyak empat ratus rakaat.
Al-Junaid al-Baghdâdî adalah seorang sufi yang mempunyai prinsip tak kenal putus asa. Terbukti, misalnya dalam ibadah, baik di kala sehat maupun sakit, ia senantiasa konsisten melaksanakannya; bahkan, dalam keadaan sakit, ia merasa semakin dekat dengan Allah. Di samping itu, Al-Junaid memiliki sifat tegas dalam pendirian. Ini terlihat ketika ia menandatangani surat kuasa untuk menghukum mati muridnya sendiri, Husayn ibn Mansur al-Hallaj (w. 309/ 922 M), sufi pencetus al-hulûl. Dalam surat kuasa itu, ia menulis dengan tegas, “Berdasarkan syari’at, ia (al-Hallaj) bersalah, tetapi menururt hakikat, Allah Yang Maha Mengetahui” .
Dalam masa-masa hidupnya, Al-Junaid menghadapi kendala dalam mengajarkan tasawufnya, terutama dari kaum ortodok. Karena perlawanan mereka terhadap para sufi yang terjadi ketika itu, maka Al-Junaid melakukan praktik-praktik spiritual dan mengajari murid-muridnya di balik pintu terkunci. Dari surat-suratnya atau risalah-risalah singkatnya dan keterangan dari para sufi serta penulis biografi sufi sesudahnya, dapat dipandang bahwa jalan hidup Al-Junaid merupakan perjuangan yang permanen untuk kembali ke “Sumber” segala sesuatu, yakni Tuhan.
Bagi Al-Junaid, cinta spiritual (mahabbah) berarti bahwa, “Sifat-sifat Yang Dicintai menggantikan sifat-sifat si pencinta”. Al-Junaid memusatkan semua yang ada dalam pikirannya, semua kecenderungannya, kekagumannya, dan semua harapan dan ketakutannya, hanya kepada Allah SWT . Untuk itulah, dengan paham-paham ketasawufannya, ia sering dipandang sebagai seorang syaikh sufi yang kharismatik di kota Bahgdad. Banyak tarekat sufi yang silsilahnya melalui Al-Junaid. Paham dan amalan tasawuf Al-Junaid ini banyak digali dari pengalaman-pengalaman ketasawufannya; namun demikian, konsep-konsep pemikiran tasawufnya masih belum tersusun secara sistematis, tetapi lebih banyak dijelaskan lewat ungkapan-ungkapan verbalnya.
Dari ungkapan-ungkapan itulah bisa dipahami konsep tasawufnya. Misalnya, ketika ia menjelaskan tentang tasawuf yang dijalaninya, ternyata ia peroleh dari pengalaman kezuhudan dan kesederhanaannya terhadap dunia. Dalam hal ini, Sai’id Hawwa pernah mengutip pernyataan Al-Junaid, yang mengungkapkan, “Kami tidak mengambil tasawuf dari pembicaraan atau kata-kata, melainkan dari lapar dan keterlepasan dari dunia ini, dan dengan meninggalkan hal-hal yang sudah biasa dan kami senangi”. Sikap hidup fakir dan keterlepasan dari kemewahan dunia menjadi penting dalam kehidupan sufistik menurut pandangan Al-Junaid .
Al-Junaid memandang tasawuf sebagai jalan kearifan manusia dalam menjalankan hidupnya. Dalam hal ini ia pernah ditanya tentang orang yang disebut ârif (sufi) sebagai berikut, “Siapakah orang ârif (sufi) itu?” Ia menjawab, orang ârif adalah orang yang tidak terikat oleh waktu.” Kehidupan tasawuf yang dilakukan seseorang merupakan jalan penyucian hati dan jalan kekhusukan untuk mengingat Dia. Perkataan Al-Junaid yang berhubungan dengan hal ini adalah: “Tuhan menyucikan “hati” seseorang menurut kadar khusuknya dalam mengingat dia. Al-Junaid mengatakan :”Sabar itu meneguk kepahitan tanpa cemberut muka.” Selain itu, Al-Junaid al-Baghdâdî juga mempunyai pemikiran tentang bast (rasa lapang) dan qabd (rasa kecut). Bast yang dimaksud adalah istilah tasawuf yang berarti suasana kelapangan jiwa melalui harapan atau kegembiraan rohani akan datangnya rahmat Allah. Di kalangan para sufi, bast dan qabd merpakan kelanjutan dari raja’ (harap) dan khauf (takut), yang keduanya merupakan cara untuk meminta perlindungan dari Tuhan. Untuk melihat bagaimana bast dan qabd sebagai kelanjutan dari raja’ dan khauf ini, dapat disimak ungkapan yang dikemukakan Al-Junaid sebagai berikut: “Takut (khauf) kepada Allah membuatku menjadi qabd, dan harap (raja’) kepada-Nya membuatku manjadi bast. Dengan al-haqiqah (hakikat) Dia mempersatukanku dengan eksistensi kemanusiaanku. Jika Dia membuatku qabd dan khauf, Dia menghancurkan eksistensi kemanusiaanku. Apabila Dia membuatku bast dan raja’, Dia mengembalikan eksistensi kemanusiaanku. Jika Dia mengumpulkanku dengan al-haqiqah, Dia menghadirkanku. Jika Dia memisahkanku dengan al-haqq (Tuhan), Dia menyaksikanku dalam eksistensi yang lain. Maka ketika itu aku dalam kedaan gelap gulita, dan menjadi tidak sadarkan diri. Ketika itu Dialah yang Yang Maha Tinggi yang menggerakkanku tanpa mendiamkanku dan Dia yang membuatku takut dan cemas tanpa membuatku merasakan adanya belaian kasih. Ketika eksistensi kemanusiaanku hadir, aku merasakan keberadaanku. Dan ketika eksistensi kemanusiaanku lepas, aku merasa hancur tidak sadarkan diri.” Al-Junaid al-Baghdâdî yang terkenal dengan julukan sayyid at-ta’ifah (sesepuh kaum sufi), menjelaskan bahwa cinta murni itu tercapai setelah adanya proses transformasi sifat-sifat yang dicintai pada diri pencinta secara total .
Dari kutipan-kutipan di atas, maka jelas sekali tasawuf Al-Junaid berlandaskan Al-Quran dan hadits. Ia menjauhi praktek yang bertentangan dengan syariat Islam. Adapun dasar-dasar pemikiran Al-Junaid tentang tasawuf yang dapat penulis analisis adalah sebagai berikut:
1. Seorang sufi harus meninggalkan kelakuan dan sifat-sifat yang buruk dan menjalankan budi pekerti yang baik, sesuai dengan ajaran-ajaran tasawuf yang selalu mengajarkan sifat-sifat baik dan meninggalkan bidu pekerti yang jelek.
2. Ajaran tasawuf adalah ajaran-ajaran yang dapat memurnikan hati manusia dan mengajarkan sifat-sifat baik dan meninggalkan sifat-sifat alamiah yang bisa merusak kesucian jiwa, menahan manusia dari godaan jasmani, mangambil sifat-sifat ruhani, mengingatkan diri pada ilmu hakikat, mengingat Allah SWT. dan rasul-Nya, Muhammad SAW.
3. Memalingkan perhatian dari urusan duniawi kepada urusan ukhrawi. Bagi orang beriman, meninggalkan pergaulan dengan sesama (manusia) masih mudah dan berpaling kepada Allah sulit. Ternyata berpaling dari nafsu lebih sulit lagi. Untuk itu, melawan nafsu adalah sangat penting untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dalam hal ini, al-Hujwiri mengutip bahwa Al-Junaid pernah ditanya, “apakah persatuan dengan Tuhan?” dia menjawab, “meniadakan hawa nafsu,” karena di antara semua tindakan ibadah yang diridhai Tuhan, tiada yang lebih besar nilainya dari pada menundukkan hawa nafsu. Menghancurkan gunung lebih mudah bagi seorang manusia dari pada menundukkan hawa nafsunya.”
4. Manusia harus berpegang teguh kepada tauhid, termasuk dalam bertasawuf. Arti tauhid, menurut Al-Junaid, adalah mengesakan Allah SWT. dengan sesempurna-Nya. Bahwa sesungguhnya Allah itu esa, tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, tidak berjumlah dan tidak pula tersusun, dan tak satupun yang menyerupai-Nya, Dia Maha Mendengar, Dia Maha Melihat dan Maha Tunggal, dan seterusnya.
5. orang sufi harus bisa melakukan tiga syarat amalan, yaitu: (a) melazimkan dzikr secara kontinu yang disertai himmah dan dengan kesadaran yang penuh; (b) mempertahankan tingkat kegairahan atau semangat yang tinggi; (c) senantiasa melaksanakan syari’at yang ketat dan tepat dalam kehidupan sehari-hari. Sebab itu, dalam soal berpegang teguh pada syari’at, maka Al-Junaid seperti dikutip Sa’id Hawwa, pernah menuduh orang yang menjadikan wusul (mencapai) Allah sebagai tindakan untuk melepaskan diri dari hukum-hukum syari’ah. Dalam persoala ini dengan tegas ia menyatakan, “Betul mereka sampai, tetapi ke neraka Saqar.” Imam Malik bin Anas, pendiri madzhab fiqih pernah berkata, “Barang siapa mendalami fiqih tanpa bertsawuf ia fasik, barang siapa yang mendalami tasawuf tanpa mendalami fiqih ia zindiq, dan barang siapa yang melakukan keduanya ia ber-tahaqquq (meraih kebenaran).”
Jadi, tasawuf merupakan hal yang mesti, dapat dijadikan sebagai penyempurna fiqih. Begitu juga fiqih, dapat menjadi koridor tasawuf dan kaidah pengendali amal dalam mengarah kepada-Nya. Jika salah satu dari dua disiplin ilmu tersebut hilang, itu berarti separuh telah tiada.

b. Abu Yazid Al-Busthami
1. Biografi dan Pemikiran Al-Ittihad Abu Yazid Al-Busthami
Al-Busthami adalah thaifur bin Isa bin Sarusyan yang berasal dari daerah Bustam. Kakeknya yang bernama Sarusyan adalah seorang Majusi yang masuk Islam. ia meninggal di Yazid pada tahun 361 H. Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Taifur bin Isa Surusyan, juga dikenal dengan Bayazid. Beliau dikenal sebagai salah seorang sufi kenamaan Persia abad ke-III dari Bistam wilayah Qum , lahir pada tahun 874 M dan wafat pada usia 73 tahun .
Al-Bustami tidak meninggalkan karangan atau tulisan tetapi ia terkenal lantaran ucapan-ucapannya. Terkadang ungkapannya dipandang sebagai al-syathahat atau ungkapan ketuhanan misalnya ungkapannya : “Maha suci Aku, Maha suci Aku, betapa besar keagungan-Ku” yang belakangan dikumpulkan dalam kitab al-Luma (buku pancaran sinar) yang ditulis oleh al-Sarraj. Setelah ia wafat para ahli sufi masih banyak mengunjungi makam al-Bustami, misalnya al-Hujwiri, bahkan sejumlah ahli sufi lainnya menaruh hormatterhadap al-Bustami meski bukan berarti mereka menerima kalimat-kalimatnya tanpa koreksi. Pengikut al-Bustami kemudian mengembangkan ajaran tasawuf dengan membentuk suatu aliran tarikat bernama Taifuriyah yang diambil dari nisbah al-Bustami yakni Taifur. Pengaruh terikat ini masih dapat dilihat dibeberapa dunia Islam seperti Zaousfana’, Maghrib (meliputi Maroko, al-Jazair, Tunisia), Chittagong dan Bangladesh.
Mengenai corak pemikiran tasawuf Al-Busthami, Keadaan fana’-baqa’ dan ittihad sebagaimana yang dialami oleh Abu Yazid dalam pengalaman tasawwufnya, merupakan tiga aspek dalam suatu pengalaman sufi yang tejadi setelah tercapainya maqam ma’rifat. Dan hal ini tidak banyak sufi yang mencapai tataran demikian, bahkan kalaupun ada maka tidak akan pernah lepas dari dijumpainya prokontra dari kalangan umat Islam sendiri, terutama dari kalangan mutakallimun, karena perjalanan para sufi pada maqam yang setelah mencapai tingkatan ma’rifat hampir selalu dinyatakan sebagai bertentangan dengan ajaran islam, meskipun upaya demikian dilakukan dalam rangka mendekatkan diri sedekat mungkin pada Sang Pencipta. Dalam perspektif sufi hal ini sangat penting, karena salah satu inti tasawuf adalah perasaan hilangnya seluruh sifat kemanusiaan yang kmudian diganti dengan sifat-sifat ketuhanan. Kondisi ini tercapai dengan sebuah keyakinan bahwa seluruh sifat kemakhlukan manusia merupakan bayang semu yang tidak tetap, sedangkan sifat-sifat tuhan adalah permanen, yang diproses melalui penghilangan kepribadian dan perasaan terhadap semua yang ada disekitarnya terlebih dahulu. Dengan hilangnya semua perasaan dan kehendak pada sesuatu itu, akan hilang pula berbagai keinginan untuk memiliki benda duniawi. Seorang sufi yang hendak bersatu dengan tuhan;ittihad terlebih dahulu harus melalui dengan dua keadaan yang tidak dapat dipisahkan, yaitu keadaan fana’, yakni, kesirnaan-peleburan; penghancuran perasaan atau kesadaran seseorang tentang dirinya dan makhluk lain disekitarnya, dan baqa’, tetap, kekal, yakni tetap dalam kebajikan dan kekal dalam sifat ketuhanan .
Konsep di atas membawa kepada puncak tasawuf Bayazid yaitu Al-Ittihad. Keadaan ini merupakan suatu tingkatan dalam tasawuf, dimana seorang sufi merasakan dirinya telah bersatu dengan Tuhan, saat yang mencintai dan yang dicintai telah menyatu, sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang lain dengan kata “hai aku”. Ittihad tidak muncul dengan begitu saja, tetapi harus setelah menenpuh tingkatan fana’-baqa’ yang dapat ditempuh dengan menyadari keadaan dirinya sebagai individu yang terpisah dari Tuhannya, dilanjutkan dengan memperjuangkan tersingkapnya pembatas yang menghalangi pandangan mata hatinya, dengan mengikis sifat-sifat tercela, yang dilakukan secara terus menerus.
Ketika terjadi ittihad secara utuh, Abu Yazid mengatakan dalam syatahatnya : “Tuhan berkata ; semua mereka kecuali engakau adalah makhluk-Ku”, akupun berkata, “Aku adalah Engkau, Engaku adalah aku adalah Engkau”, maka pemilahanpun terputus, kata menjadi satu, bahkan seluruhnya menjadi satu. Dia berkata, “Hai engkau”, aku dengan perantara-Nya menjawab, “Hai aku”. Dia berkata, “Engkau yang satu”. Aku menjawab, “Akulah yang satu”. Dia selanjutnya berkata, “Engkau adalah engaku”. Aku menjawab, “Aku adalah aku”. Kata aku yang diucapkan Abu Yazid bukanlah sebagai gambaran diri Abu Yazid tetapi sebagai gambaran Tuhan, karena saat itu Abu Yazid telah bersatu dengan Tuhan, dengan kata lain, dalam ittihad Abu Yazid berbicara dengan nama Tuhan atau lebih tepat lagi, Tuhan berbicara melalui lidah Abu Yazid .“Aku tidak heran terhadap cintaku pada-Mu, karena aku hanyalah hamba yang hina, tetapi aku heran terhadap cinta-Mu padaku, karena Engkau Raya Yang Maha Kuasa”. Dia juga menyatakan, “Manusia bertaubat dari dosa-dosa mereka, tetapi aku taubat dari ucapanku “Tidak ada Tuhan selain Allah”, karena dalam hal ini aku memakai alat dan huruf, sedangkan Tuhan tidak dapat dijangkau dengan alat dan huruf”. Semakin larutnya dalam ittihad, di suatu pagi setelah shalat shubuh, Abu Yazid pernah melafalkan kalimat sampai orang lain menganggapnya orang gila dan menjauhinya dengan kalimat, “Sesungguhnya aku adalah Allah, tiada Tuhan selain aku, maka sembahlah aku, maha suci aku, maha suci aku, maha besar aku” .
Ungkapan-ungkapan yang dikeluarkan oleh Abu Yazid diatas tidak dapat dilihat secara harfiah, tetapi harus dipandang sebagai ungkapan seorang sufi yang sedang dalam keadaan fana’, seluruh pikiran, kehendak dan tindakannya telah baqa’ dalam Tuhan. Dalam pengalaman tasawuf, keadaan fana’ para sufi berbeda antara satu dengan yang lain. Ada yang kembali kepada keadaan normal sehingga dia tetap menganggap dualitas antara Tuhan dan alam, tetapi ada pula yang betul-betul merasakan fana’ yang kemudian mengantarkan bersatu dengan Tuhan, sehingga tidak ada perbedaan antara Tuhan, dengan alam, atau sebaliknya.

c. Al-Hallaj
1. Biografi dan Konsep Al-Hulul Mansur Al-Hallaj
Al-Hallaj adalah Abu Mughits al-Husain bin Mansur bin Muhammad al-Baidhawi. Ia adalah salah satu pembesar sufi pada penghujung kurung ketiga dan dipermulaan kurun keempat hijriah. Ia dikatakan al-Hallaj karena bekerja sebagai tukang kapas. Ia lahir sekitar tahun 244 H di Baidha’ Persia. Konon sebelumnya ia adalah seorang Majusi, dan konon juga mengatakan bahwa ia masih keturunan Abi Ayyub. Ia tumbuh di Irak, dan berteman dengan syekh-syekh tasawuf pada masanya seperti Sahl Tustan, Abi Umar Al-Maki, dan Junaid . Ketika masih kecil, ayahnya pindah ke Tustar, kota kecil dikawasan Wasith, dekat Baghdad. Masa kecilnya banyak dihabiskan untuk belajar ilmu keagamaan. Sejak kecil, al-Hallaj mulai belajar membaca al-Qur’an, sehingga berhasil menjadi penghafal al-Qur’an (hafidz). Pemahaman tasawuf pertama kali ia kenal dan pelajari dari seorang sufi yang bernama Sahl al-Tustari . Karena pengembaraannya yang intens, maka ia dikenal sebagai seorang sufi yang berkelana ke berbagai daerah. Berkelananya ke berbagai daerah, mengantarkan ia dapat berkelana, bertmu, berteman dan bahkan berguru kepada para sufi kenamaan pada masa itu. Menginjak usia 20 tahun, al-Hallaj meninggalkan Tustar menuju kota Basra dan berguru kepada Amr Makki. Untuk memperdalam keilmuannya, seterusnya pindah ke kota Bagdad untuk menemui sekaligus berguru kepada tokoh sufi modern yang termasyhur, yaitu al-Junaid alBaghdadi. Ia digelari al-Hallaj karena penghidupannya yang dia peroleh dari memintal wol . Dalam sumber lain dijelaskan, bahwa disebut al-Hallaj karena dapat membaca pikiran-pikiran manusia yang rahasia, maka terkenal dengan Hallaj al-Asror, penenun ilmu ghaib .
Selanjutnya, al-Hallaj muda pergi ke kota Makkah. Di kota suci ini, ia menetap selama kurang lebih satu tahun. Selama di kota suci ini ia tinggal dan bermukim di pelataran Masjid al-Haram sambil melakukan praktek kesufiannya. Pada situasi dan kondisi seperti inilah, ia mengalami dan merasakan sebuah pengalaman spiritual yang tiada tara bandingannya. Dalam sebuah pengakuannya, ia telah mengalami pengalaman mistik yang luar biasa, yang pada wacana berikutnya kemudian terkenal dengan istilah hulul . Pada ujung proses merasakan dan mengalami pengalaman spiritual yang luar bisa tersebut, al-Hallaj memutuskan untuk kembali ke kota Baghdad dan menetap di kota ini sambil terus menyebarkan ajaran tasawufnya. Namun demikian, keadaan menentukan lain dan memaksanya menjadi rakyat yang tertindas dari kekejaman penguasa saat itu. Pada tanggal 18 Dzulkaidah 309 H / 922 M ia ditangkap dan dijatuhi hukuman mati oleh pengusa Dinasti Abbasiyah (Khalifah Al-Muktadir Billah) . Motif dan latar belakang penangkapan dan vonis hukuman mati ini adalah bermuara dari tuduhan membawa paham hulul yang dianggap menyesatkan umat.
Konsep hulul yang diusung oleh Mansur al-Hallaj dalam praktek pengalaman tasawufnya sebenarnya berpijak dari kedekatannya dengan Tuhan. Kedekatan berikut dengan segala atribut nuansa spiritualnya bertumpu pada konsep teologi yang masih dalam koridor spiritualitas Islam (Islamic Spirituality). Spiritualitas Islam yang senantiasa identik dengan upaya menyaksikan Yang Satu, mengungkap Yang Satu, dan Syiah Qaramitah adalah sebuah kelompok Syiah beraliran garis keras yang dipimpin oleh Hamdan bin Qarmat yang menentang dan memusuhi pemerintah Dinasti Abbasiyah sejak abad kesepuluh sampai dengan abad ke sebelas, Spiritualis Islam (Islamic Sprirituality) sebagaimana dijelaskan secara khusus oleh Sayyed Hossein Nasr adalah sebuah pengalaman dan pengetahuan akan keesaan Allah dan realisasinya dalam pemikiran, perkataan, sikap, dan perbuatan, serta berangkat dari kemauan, jiwa, dan kecerdasan yang pada puncaknya adalah menjalani hidup dan melakukan perbuatan yang senantiasa sejalan kehendak Ilahi, mencintainya dengan segenap wujud, dan akhirnya mengenal-Nya melalui pengetahuan integratif dan iluminatif, yang realisasinya tidak akan pernah dapat terpisahkan dari cinta, dan tidak akan mungkin tanpa kehadiran perbuatan yang benar . Mengenali Yang Satu, Tuhan dalam kemutlakan Realitas-Nya yang melampaui segala manifestasi dan determinasi, Sang Tunggal yang ditegaskan dalam al-Qur’an dengan nama Allah .
Ajaran tasawuf al-Hallaj yang terkenal adalah konsep hulul. Tuhan dipahami mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu setelah manusia tersebut betul-betul berhasil melenyapkan sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuhnya. Menurut al-Hallaj bahwa Tuhan mempunyai dua sifat dasar, yaitu al-lahut (sifat ketuhanan) dan al-nasut (sifat kemanusiaan) . Demikian juga manusia juga memiliki dua sifat dasar yang sama. Oleh karena itu, antara Tuhan dan manusia terdapat kesamaan sifat. Argumentasi pemahaman ini dibangun berdasarkan kandungan makna dari sebuah hadits yang mengatakan bahwa: “Sesungguhnya Allah menciptakan Adam sesuai dengan bentukNya” sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, dan Ahamad bin Hambal atau Imam Hambali. Hadits ini memberikan wawasan bahwa di dalam diri Adam as terdapat bentuk Tuhan yang disebut al-lahut. Sebaliknya di dalam diri Tuhan terdapat bentuk manusia yang disebut al-nasut . Berdasarkan pemahaman adanya sifat antara Tuhan dan manusia tersebut, maka integrasi atau persatuan antara Tuhan dan manusia sangat mungkin terjadi. Proses bersatunya antara Tuhan dn manusia dalam pemahaman ini adalah dalam bentuk hulul. Bersatunya antara Tuhan dan manusia harus melalui proses bersyarat, dimana manakala manusia berkeinginan menyatu dengan Tuhannya, maka ia harus mampu melenyapkan sifat al-nasutnya. Lenyapnya sifat al-nasut, maka secara otomatis akan dibarengi dengan munculnya sifat al-lahut dan dalam keadaan seperti inilah terjadi pengalaman hulul .
Pernyataan al-Hallaj bahwa dirinya tetap ada, yang terjadi adalah bersatunya sifat Tuhan di dalam dirinya, sebagaimana ungkapan syairnya : “Maha suci zat yang sifat kemanusiaan-Nya membukakan rahasia ketuhanan-Nya yang gemilang. Kemudian kelihatan bagi makhluknya dengan nyata dalam bentuk manusia yang makan dan minum”. Dalam syair di atas tampak Tuhan mempunyai dua sifat dasar keTuhanan, yaitu “Lahut” dan “Nasut”. Dua istilah ini oleh al-Hallaj diambil dari falsafah Kristen yang mengatakan bahwa Nasut Allah mengandung tabiat kemanusiaan di dalamnya. Dalam konsep hulul al-Hallaj dimana Tuhan dengan sifat ketuhanan menyatu dalam dirinya, berbaur sifat Tuhan itu dengan sifat kemanusiaan. Penyatuan antara roh Tuhan dengan roh manusia dilukiskan oleh al-Hallaj di dalam syairnya sebagai berikut : ‫“JiwaMu disatukan dengan jiwaku, sebagaimana anggur dicampur dengan air suci. Dan jika ada sesuatu yang menyentuh Engkau, ia menyentuh aku pula dan ketika itu dalam setiap keadaaan Engkau adalah aku” .
Bahkan didalam syairnya yang lain, al-Hallaj melukiskan dengan sangat jelas bahwa : “Aku adalah Dia yang kucintai dan Dia yang kucinta adalah aku. Kami adalah dua roh yang bersatu dalam satu tubuh. Jika engkau lihat aku, engkau lihat Dia, dan jika engkau lihat Dia, engkau lihat kami” . Tatkala peristiwa hulul sedang berlangsung, keluarlah syatahat (kata-kata aneh) dari lidah al-Hallaj yang berbunyi Ana al-Haqq (Aku adalah Yang Maha Benar). Kata al-Haq dalam istilah tasawuf, berarti Tuhan. Sebagian masyarakat saat itu menganggap al-Hallaj telah kafir, karena ia mengaku dirinya sebagai Tuhan. Padahal yang sebenarnya, dengan segala kearifan dan kerendahan hati spiritualnya, al-Hallaj tidak mengaku demikian. Perspektif ini dibangun berdasarkan ungkapan syairnya yang lain dengan mengatakan bahwa: ‫“Aku adalah Rahasia Yang Maha Benar, dan bukanlah Yang Maha Benar itu aku, aku hanya satu dari yang benar, dibedakanlah antara kami atau aku dan Dia Yang Maha Benar”. Dalam pengertian lain dapat diungkapkan bahwa syatahat yang keluar dari mulut al-Hallaj tidak lain adalah ucapan Tuhan melalui lidahnya . Dengan ungkapan ini, semakin tidak mungkin untuk memahami bahwa maksud al-Hallaj dengan hululnya dalam berbagai syairnya adalah dirinya al-Haq. Jadi karena sangat cintanya kepada Allah menjadikan tidak ada pemisah antara dirinya dengan kehendak Allah, seolah-olah dirinya dan Tuhan adalah satu. Sebagaimana diungkapkan dalam syairnya: “Aku adalah Dia yang kucintai dan Dia yang kucintai adalah aku”.


BAB III
PENUTUP


a. Kesimpulan
Corak tasawuf pada abad ke 3 dan ke 4 H tidak terlepas dari konsep zuhud, dan fana. Hal ini tercermin dari pemikiran tasawuf tokoh di masa tersebut seperti Al-Junaid, Al-Busthami dengan ittihad, Al-Hallaj dengan Hulul. Banyak kritik terhadap pemikiran tokoh ini terutama konsep ittihad dan hulul. Namun, dalam bagian ini, penulis ingin menyampaikan telaah kritis terhadap konsep-konsep tersebut yang dapat diambil makna positif dalam kehidupan pada masa saat ini dimana orang-orang menyembah budaya materialisme dan mempertaruhkan segala sesuatu di atas uang. Ketercerabutan unsur manusiawi dalam diri manusia ini dapat diimbangi dengan solusi sufistik menjadi alternatif positif dalam realitas kehidupan yang serba dinamis.
Salah satu makna dari kisah simbolis para sufi seperti Al-Junaid, Al-Busthami dan Al-Hallaj adalah kesediaan diri untuk melepaskan segala atribut duniawi sehingga hati hanya terpaut kepada Allah Sang Pencipta. Keterikatan dengan segala sesuatu yang bukan Dia, dapat menghalangi mata batin kita untuk melihat cahaya di dalam kegelapan. Tataran konkritnya: Al-Hallaj memilih jalan sunyi itu. Betapa terkutuknya ia di mata manusia, tetapi betapa agung sakit yang dikunyahnya. Pesan simbolis yang ingin disampaikan adalah melalui posisi “Al-Hallaj” secara substansif bahwa manusia hendaknya melepaskan kungkungan formalisme dan materialisme yang ternyata sangat rentan untuk hilang. “Al-Hallaj” adalah suatu idiom yang menggairahkan untuk menyebut bagian dari dunia dan kehidupan yang menawar, menggugat. Gerakan Al-Hallaj dan Al-Busthami secara metaforik merupakan ancaman serius bagi ketaatan yang selesai, formalisme syariat, dan fanatisme. Yang menentang menomorsatukan selain Allah: ambisi kekuasaan, maniak harta benda, mengumbar nafsu, eksploitasi buta demi kepentingan pribadi yang sepertinya saat ini menjadi: “pasar riuh rendah, jalanan ramai obsesi kita sehari-hari”

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufiq dkk. 2002. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve.
Al-Ghanimi al-Taftazani, Abu Wafa’. 2008. Tasawuf Islam: Telaah Historis dan Perkembangannya. Terj. Subhkan Anshori. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Al-Kumayi, Sulaiman.2004. Kearifan Spiritual dari Hamka ke Aa Gym. Semarang: Pustaka Nuun.
Azra, Azyumardi. 2008. Ensiklopedi Tasawuf. Bandung: Angkasa.
_____________. 2002. Ensiklopedia Islam. Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve.
Hadi W, M. Abd.. 1979. Dalam pengantar Saleh Abdul Sabur. Tragedi al-Hallaj. Pustaka: Bandung.
Joebar, Ajoeb.1986. Dalam pengantar Ibrahim Gazur I-Ilahi, The Secret of Ana L-Haqq. Jakarta: Rajawali.
Muhammad SQ, Yusuf. 2010. Rahasia Surga: Kisah-Kisah Teladan Ahli Surga. Yogyakarta: Kelompok Penerbit Pinus.
Nasution, Harun.1973. Falsafah dan Mistisme Dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
_____________. 1973. Islam ditinjau dari berbagai aspek. Jakarta: Bulan Bintang.
Nasr, Sayyed Hossein. 2003. Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam: Manifestasi. (tim penerjemah Mizan), Bandung: Mizan.
Simuh.1997. Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam. Jakarta: Raja Grafindo.
Solihin. 2003. Tasawuf Tematik: Membedah Tema-tema Penting. Bandung: Pustaka Setia.
Syukur, M. Amin.1999. Menggugat Tasawuf. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Team Penyusun Ensiklopedia Islam. 1994. Ensiklopedi Islam, Jilid I. Jakarta, Ikhtiar Baru Van Hoeve.
http://allah-ada-tanpa-tempat.wordpress.com/biografi-kaum-sufi. diakses tanggal 16 Juli 2010 pukul 20.00 WIB
www.sufi-road.blogspot.com/Al-Junaid. diakses tanggal 16 Juli 2010 pukul 20.00 WIB

Fungsi-fungsi Fundamental (spekulatif, kritik, teoritik) dalam Wacana Filsafat Pendidikan Islam

Pendidikan Islam saat ini memberikan sinyalemen bahwa kontribusi kultural dan intelektual kaum muslim sebagai kesatuan bangsa muslim terbesar masih jauh di bawah proporsinya (la yahya wa la yamuutu). Hal ini sangat jelas dari aspek performance dan peran pendidikan Islam yang cenderung memunculkan traditional scriptualism; sikap keberagamaan yang cenderung pada legalisme (formalisme syariat), “salaf sentris”, yang akibatnya adalah penciptaan masyarakat yang lebih berpegang teguh pada ortodoksi. Sementara di sisi lain, filsafat mendapatkan porsi yang sedikit secara proporsi. Bahkan lebih ekstrem lagi, sebagian subjek pendidikan Islam kita terjangkiti sikap parokialistik; sikap menolak segala sesuatu yang tidak berasal dari kaum mereka sendiri. Kausalitas konkritnya: seorang santri yang cerdas menimba ilmu dari pesantren, Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsawaniyah, Madrasah Aliyah kemudian melanjutkan ke perguruan tinggi Islam sebut saja misalnya: STAIN, IAIN, UIN. Setelah menyelesaikan sarjana S1, S2, atau S3, mengabdi di lembaga pendidikan Islam yang sejenis. Pola homo-institusi ini sangat mungkin terjadi.
Tanpa menafikan lembaga pendidikan Islam, namun melihat realitas kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini, jelas sekali.... sangat sedikit lulusan lembaga pendidikan Islam yang menempati posisi-posisi strategis di dalam pemerintahan, dimana kebijakan suatu bangsa dan negara banyak ditentukan dari bidang pemerintahan, politik, ekonomi. Padahal jelas, alumni lembaga pendidikan Islam mempunyai daya saing ditinjau dari kualitas bahkan memiliki kelebihan baik IQ, EQ, dan SQ (tiga hal yang membuat manusia menjadi dewasa). Kondisi ini terjadi sebagai akibat dari kurangnya peranan pendidikan Islam di Indonesia di masa lalu. Dimana pendidikan Islam di masa lalu (khususnya Indonesia) mempunyai wajah baru namun “orang lama”. Pendidikan Islam terjebak dalam konformitas. Perasaan puas terhadap hegemoni Islam di masa kejayaannya yang membuat lengah dalam menatap masa depan dengan lebih tajam, optimis, dan penuh semangat yang tinggi. Kajian-kajian Islam lebih memfokuskan diri pada rekodifikasi terhadap ilmu-ilmu di masa lalu sehingga kurang kontekstual dengan masa sekarang. Singkatnya, ilmu-ilmu tersebut terasa usang karena yang dilakukan bukannya internalisasi nilai-nilainya, namun sekedar bernostalgia terhadap hegemoni Islam di masa lalu.
Walaupun tak sepenuhnya analisis di atas benar, asumsi-asumsi yang berkembang sangat mempengaruhi secara kultural dan mempengaruhi secara individu. Seperti asumsi: pemerintahan dan politik merupakan “barang haram” untuk disentuh. Asumsi ini berkembang sebagai reses dari historis-kultural dampak negatif dari miss-interpretation terhadap gerakan tasawuf seperti: zuhud, fana. Mengkritik problematika ini, penulis ingin meminjam istilah Nurcholis Majdid, “sekulerasi”. Pembebasan nilai-nilai dari mengukhrowikan dunia. Sekulerasi bukan membuat orang menjadi sekularis. Ide ini relevan dengan kondisi pendidikan Islam yang saat ini: terpinggirkan, terdiskriminasi dengan konotasi terbelakang dan ortodoks, dan orientasi praktik ritual keagamaan dan dikotomis.
Dari kondisi pendidikan Islam di atas, penulis hendak menyampaikan telaah kritis terhadap performance pendidikan Islam. Pertama, masalah materi dan muatan pendidikan Islam. Kecenderungan saat ini, materi pendidikan Islam hanya menekankan dimensi teologis dalam pengertian sempit dan ritual ajaran agama. Kajian-kajian teologis berkutat pada persoalan ketuhanan yang bersifat mistik-ontologis dan tidak berhubungan sama sekali dengan realitas kemanusiaan. Padahal, seperti yang dikatakan Dr. Yusuf Qardhawi: Al-Qur’an adalah kitab manusia, karena al-Qur’an seluruhnya berbicara untuk manusia atau berbicara tentang manusia. Iman sebagai kajian utama dalam pendidikan Islam lebih banyak diorientasikan pada upaya-upaya mempertahankan akidah sehingga tidak membuahkan kekayaan wacana dan pengayaan spiritual, etika dan moral. Sehingga cukup beralasan adanya sinyalemen yang mengatakan bahwa pendidikan Islam masih dalam posisi “cagar budaya” untuk mempertahankan paham-paham keagamaan tertentu.
Kedua, masalah yang berkaitan dengan kerangka metodologi. Pendidikan Islam memang memang seringkali masih terpaku pada model konvensional yang lebih menekankan penggunaan metode ceramah yang cenderung monolog dan doktrinatif, yang lebih mementingkan memori daripada analisis dan dialog. Hal ini terjadi karena pengetahuan yang disampaikan kepada peserta didik bukan dalam bentuk “proses” yang mengapresiasi pemahaman, penalaran, dan pelatihan, melainkan dalam bentuk “produk” yang menekankan hafalan dan mengganggap suatu ilmu telah selesai, final dan mapan. H.A.R Tilaar menyebutnya dengan budaya intelektualisme dan verbalisme. Pendekatan semacam itu dikategorikan sebagai pendekatan doktriner-literal-formal.
Ketiga, masalah dis-integrasi pendidikan Islam, dalam arti dualisme-dikotomis. Pendidikan Islam jarang dikaitkan dengan disiplin keilmuan lainnya. Kecuali penekanan yang tidak proporsional terhadap dimensi teologis dan ritual semata. Parahnya lagi, pendidikan Islam jarang sekali dijelaskan dari sudut pandang disiplin ilmu lain seperti: filsafat, antropologi, psikologi, ekonomi. Bisa disebut pola pendidikan Islam sekedar dipahami sebagai pola “pengajian”, bukan “pengkajian” ataupun studi Islam yang perlu menyertakan disiplin ilmu lain dalam menjelaskan ajaran dan fenomena keagamaannya. Pendidikan Islam masih disajikan secara fragmentaris sehingga belum mampu memadukan hubungan fungsional-integral atau belum memadai dalam memadukan secara harmonis antara pendekatan doktriner dengan pendekatan saintifik sehingga terasa hampa kandungan fungsional-praktisnya.
Pendidikan Islam merupakan bentuk hubungan paling esensial dalam kehidupan manusia sehingga fungsi dan peranannya dalam kehidupan yang terus-menerus berubah akan tetap langgeng, meski banyak gugatan. Fazlur Rahman menyebutnya dengan merosotnya intelektualisme Islam sebagai akibat kemandulan pendidikan Islam. Ada beberapa wacana yang dapat ditawarkan menanggapi permasalahan tersebut.
Pertama, penelusuran jejak masa kejayaan Islam dengan pendekatan filosofis-historis dengan kerangka dasar wawasan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Mengkaji langkah-langkah serta metodologi yang digunakan, analisis kondisi sosiologis-psikologis-antropologis saat itu akan membantu pendidikan Islam dalam memahami nilai-nilai strategis yang dapat diambil inti sarinya untuk dikemas secara konstruktif.
Kedua, karena pendidikan Islam terkait erat dengan dimensi praksis-sosial yang senantiasa memiliki dampak sosial dan dituntut untuk responsif terhadap realitas sosial dan tidak terbatas pada lingkup pemikiran teoretis-konseptual, maka-meminjam ide Hassan Hanafi-perlu adanya transformasi dari tataran teologi-normatif ke tataran rasional-proaktif. Dimana teks-teks atau dogma agama harus dipahami dan mempunyai tanggung jawab sebagai social determinance. Pendidikan Islam sebagai matrik konseptual aktivitas kultural-performatif, yang berkaitan langsung dengan dinamika praksis sosial-budaya, perlu secara progresif mempertegas jati diri keberpihakan pada tindakan penyadaran dan pemberdayaan. Determinasi sosial ini berkaitan dengan budaya. Memahami budaya identik dengan kemajemukan, maka sikap toleransi, terbuka, inklusif sangat diperlukan. Dalam kajian Pendidikan Islam Integralistik, perlu adanya pemaduan secara sinergis-dialektis antara epistemologi bayani, irfani dan burhani dalam struktur hierarkis dalam kerangka humanisasi, liberasi, dan transedensi dengan tujuan menghindari keterjebakan dalam kubangan dualisme dikotomik keilmuan secara berkelanjutan, reduksi spektrum keilmuan, dan diharapkan mampu melakukan kontekstualisasi dinamis-konstruktif seiring akselerasi dinamika sosial-budaya karena formulasi pendidikan Islam yang telah dihasilkan tidak dipandang sebagai produk final, atau sebagai “Ketaatan yang selesai”. Singkatnya Pendidikan Islam dalam kerangka multikultural yang dinamis-integralistik berlandaskan nilai-nilai islami merupakan wacana solusif yang dapat penulis kemukakan dalam membenahi pendidikan Islam yang benar-benar mampu menjadi sentral dari segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.