Selasa, Januari 19, 2010

Peranan Kepala Sekolah Sebagai Supervisor

BAB I
PENDAHULUAN

a. Latar Belakang Masalah
Pernahkah kita mendengar istilah supervisor? Tentu pernah. Supervisor adalah orang yang memegang jabatan sebagai pengawas, memberikan arahan dan bimbingan serta melakukan kegiatan pembinaan terhadap suatu institusi yang dipimpinnya. Peranan seorang supervisor sangat penting. Dapat dikatakan pula seorang supervisor adalah penanggung jawab kegiatan. Supervisor merupakan individu yang memiliki kecakapan dan memenuhi kriteria-kriteria yang ditetapkan. Artinya supervisor memiliki kelebihan dibandingkan bawahannya.
Dalam suatu organisasi sekolah, kepala sekolah bertindak sebagai supervisor. Diharapkan supervisor mampu melakukan pembinaan dan peningkatan profesi mengajar seperti pengarahan untuk meningkatkan efektivas dan efisiensi belajar mengajar, mengendalikan penyelenggarakan bidang teknis edukatif di sekolah sesuai dengan ketentuan-ketentuan dan kebijakan yang telah ditetapkan, menjamin agar kegiatan sekolah berlangsung sesuai dengan ketentuan yang berlaku, sehingga berjalan lancer dan memperoleh hasil dan optimal, menilai keberhasilan sekolah dalam pelaksanaan tugasnya, serta memberikan bimbingan langsung untuk memperbaiki kesalahan, kekurangan, dan kekhilafan serta membantu memecahkan masalah yang dihadapi sekolah, sehingga dapat dicegah kesalahan yang lebih jauh (Purwanto, 2002 : 100).
Beberapa pembinaan diatas, diharapkan mampu menciptakan kondisi yang memungkinkan memberikan bantuan kepada para guru agar mampu membina dirinya sehingga semakin mampu dan terampil menjalankan usaha-usaha yang menunjang proses belajar mengajar. Seorang supervisor, dalam hal ini kepala sekolah, juga mempunyai beberapa jenis karakter sesuai dengan tipe kepemimpinannya. Pada pembahasan akan ditulis ciri-ciri seorang supervisor yang baik, tugas-tugasnya, serta beberapa hal yang perlu diperhatikan kepala sekolah dalam berbagai bidang.

b. Rumusan Masalah
Dari deskripsi diatas, dapat dirumuskan beberapa pertanyaan, antara lain :
1. Apa saja tipe-tipe kepengawasan?
2. Bagaimana ciri-ciri yang baik bagi kepala sekolah sebagai supervisor?
3. Apa fungsi supervisi pendidikan bagi kepala sekolah sebagai supervisor pada organisasi sekolah?

c. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini untuk menambah pengetahuan serta mampu memahami karakteristik seorang kepala sekolah sebagai supervisor yang baik sehingga dapat melaksanakan tungsi-fungsi sebagaimana mestinya. Dan juga mampu melaksanakan pembinaan dengan peningkatan potensi mengajar sehingga dapat diambil langkah-langkah perbaikan untuk mengoptimalkan peranan kepala sekolah sebagai seorang supervisor dalam suatu organisasi sekolah.

BAB II
PEMBAHASAN


a. Tipe-Tipe Kepengawasan
Fungsi pokok kepala sekola sebagai supervisor adalah membantu guru-guru dalam mengembangkan potensi-potensi mereka sebaik-baiknya. Akan tetapi, fungsi supervisor ini tidak terlepas dari tipe-tipe kepemimpinan yang dianutnya.
Burton dan Breuckner mengemukakan ada lima tipe supervisi yaitu inspeksi, laissez-faire, coercive, training and guidance dan democratic leadership. (Burhanuddin, 2005:79).

1. Supervisi Sebagai Inspeksi
Jenis ini biasanya diterapkan pada administrasi dan supervisi yang otokratis. Supervisi hanya semata-mata merupakan kegiatan menginspeksi pekerjaan guru atau bawahannya. Inspeksi bukanlah pengawasan yang membantu mengembangkan dan memperbaiki cara dan daya kerja sebagai pendidik dan pengajar. Inspeksi lebih diinterpretasikan sebagai kegiatan-kegiatan mencari kesalahan. Dengan kata lain menentukan konduite. Inilah ciri-ciri kepengawasan zaman kolonial dahulu yang ironisnya hingga kini masih juga terdapat pada dunia pendidikan Indonesia.

2. Laissez Faire
Tipe ini merupakan kepengawasan yang tidak konstruktif. Ditandai dengan tidak adanya pengarahan dan bimbingan serta koordinasi sehingga membiarkan guru-guru bekerja sekehendaknya. Tipe ini terbentuk oleh perspektif terhadap demokrasi yang salah. Sehingga yang ada hanyalah kepengawasan yang lemah dan tanpa tanggung jawab. Wajar saja jika ketidakharmonisan dalam kerja sama sering terjadi.

3. Coercive Supervision
Tipe ini hampir sama dengan inspeksi, yaitu lebih bersifat otoriter. Pengawas bersifat memaksakan segala sesuatu yang dianggapnya benar dan baik menurut pendapatnya sendiri. Pendapat guru tidak dihiraukan, guru harus tunduk dan menuruti petunjuk-petunjuk yang dianggap baik oleh seorang supervisor. Mungkin dalam kondisi tertentu tipe ini cocok, seperti bagi guru yang baru mulai belajar dan mengajar.

4. Training and Guidance
Tipe ini lebih baik dari tiga tipe diatas. Tipe ini berlandaskan suatu pandangan bahwa pendidikan itu merupakan proses pertumbuhan bimbingan serta pandangan bahwa orang yang diangkat sebagai guru telah mendapat pre-service di sekolah guru. Jenis ini berorientasi pada latihan (training) dan bimbingan (guidance). Tipe ini baik, namun mempunyai kelemahan yaitu mungkin saja pengawasan, petunjuk, arahan yang diberikan kepala sekolah bersifat kolot, tidak up to date. Kontradiksi ini dapat terjadi sebaliknya, pendapat supervisi itu lebih maju sedangkan pengetahuan guru masih bersifat konservatif.

5. Democratic Leadership
Sesuai dengan namanya, kepengawasan ini bersifat demokratis dan kepemimpinan bersifat kooperatif. Dalam tingkat ini, supervisi bukan lagi pekerjaan yang dipegang oleh satu orang saja, melainkan pekerjaan yang memerlukan koordinasi bersama. Tanggung jawab dibagikan kepada para anggota sesuai tingkat serta kompetensi masing-masing. Salah satu kelebihan tipe ini adalah menemukan cara-cara bekerja yang kooperatif dan efektif.

b. Ciri-Ciri Seorang Supervisor Yang Baik
Seorang supervisor hendaknya memiliki ciri pribadi sebagai guru yang baik, memiliki pembawaan kecerdasan yang tinggi, pandangan yang luas mengenai proses pendidikan dalam masyarakat, kepribadian yang menyenangkan dan kecakapan melaksanakan human relation yang baik pula.
Dalam lapangan psikologi, menurut tipologi Kant orang yang cocok menjadi supervisor adalah orang yang bertipe temperament phlegmatis. Diantaranya memiliki sifat lamban menjadi panas, tetapi panasnya itu tahan lama, tidak mudah marah. (Suryabrata, 2007:58).
Thomkins dan Backley menyatakan kualitas penting bagi seorang supervisor adalah memiliki intuisi yang baik, kerendahan hati, keramah-tamahan, ketekunan, sifat humor, kesabaran, dan ciri-ciri lain yang menyangkut hubungan antara orang-orang.
Kimball Wiles mengemukakan seorang supervisor berurusan dengan persiapan kepemimpinan yang efektif di dalam staf, harus berusaha memperbaiki sensitivitasnya terhadap perasaan orang lain, hubungan kerjasama yang kooperatif dan harus sering berhubungan di dalam kelompok kerja. (Burhanuddin, 2005:85).
Dengan kata lain, ciri-ciri supervisor yang baik adalah :
1. Berpengetahuan luas tentang seluk beluk semua pekerjaan yang diawasinya.
2. Menguasai benar-benar rencana dan program yang telah digariskan yang akan dicapai oleh setiap lembaga atau bagian.
3. berwibawa, dan memiliki kecakapan praktis tentang teknik-teknik kepengawasan, terutama human relation.
4. Memiliki sifat jujur, tegas, konsekuen, ramah, dan rendah hati.
5. Berkemauan keras, rajin bekerja demi tercapainya tujuan atau program yang telah digariskan.

c. Fungsi-Fungsi Supervisi Bagi Seorang Kepala Sekolah
Fungsi-fungsi supervisi pendidikan yang sangat penting diketahui oleh para pimpinan pendidikan termasuk kepala sekolah, adalah sebagai berikut :

1. Dalam bidang kepemimpinan
a. Menyusun rencana dan policy bersama
b. Mengikutsertakan anggota-anggota kelompok dalam berbagai kegiatan
c. Memberikan bantuan kepada anggota kelompok dalam menghadapi dan memecahkan persoalan-persoalan.
d. Membangkitkan dan memupuk semangat kelompok, atau memupuk moral yang tinggi kepada anggota kelompok.
e. Mengikutsertakan semua anggota dalam menetapkan putusan-putusan.

2. Dalam hubungan kemanusiaan
a. Memanfaatkan kesalahan yang dialami sebagai untuk dijadikan pelajaran demi perbaikan selanjutnya.
b. Membantu mengatasi kekurangan ataupun kesulitan yang dihadapi anggota kelompok, seperti dalam hal kemalasan, merasa rendah diri dan lain-lain.
c. Mengarahkan anggota kelompok kepada sikap-sikap demokratis.
d. Memupuk rasa saling menghormati diantara sesama anggota kelompok dan sesama manusia.
e. Menghilangkan rasa curiga antara anggota kelompok.

3. Dalam pembinaan proses kelompok
a. Mengenal masing-masing pribadi anggota kelompok, baik kelemahan maupun kemampuan masing-masing.
b. Menimbulkan dan memelihara sikap percaya antara sesama anggota.
c. Memupuk sikap dan kesediaan tolong menolong.
d. Memperbesar rasa tanggung jawab para anggota kelompok.
e. Bertindak bijaksana dalam menyelesaikan pertentangan diantara anggota kelompok.

4. Dalam bidang administrasi personel
a. Memilih personel yang memiliki syarat dan kecakapan yang dperlukan untuk suatu pekerjaan.
b. Menempatkan personel pada tempat dan tugas yang sesuai dengan kecakapan dan kemampuan masing-masing.
c. Mengusahakan susunan kerja yang menyenangkan dan meningkatkan daya kerja serta hasil maksimal.
5. Dalam bidang evaluasi
a. Menguasai dan memahami tujuan-tujuan pendidikan secara khusus.
b. Menguasai dan memiliki norma-norma atau ukuran-ukuran yang akan digunakan sebagai kriteria penilaian.
c. Menguasai teknik-teknik pengumpulan data untuk memperoleh data yang lengkap, benar dan dapat diolah menurut norma yang ada.
d. Menafsirkan dan menyimpulkan hasil-hasil penilaian sehingga mendapatkan gambaran tentang kemungkinan-kemungkinan untuk mengadakan perbaikan-perbaikan.

BAB III
PENUTUP

a. Kesimpulan
Dalam suatu organisasi sekolah, kepala sekolah bertindak sebagai supervisor. Diharapkan supervisor mampu melakukan pembinaan dan peningkatan profesi mengajar seperti pengarahan untuk meningkatkan efektivas dan efisiensi belajar mengajar. Selain itu, ada lima tipe supervisi yaitu inspeksi, laissez-faire, coercive, training and guidance dan democratic leadership. Seorang supervisor hendaknya memiliki ciri pribadi sebagai guru yang baik, memiliki pembawaan kecerdasan yang tinggi, pandangan yang luas mengenai proses pendidikan dalam masyarakat, kepribadian yang menyenangkan dan kecakapan melaksanakan human relation yang baik pula. Fungsi-fungsi supervisi pendidikan yang sangat penting diketahui oleh para pimpinan pendidikan termasuk kepala sekolah terutama dalam bidang kepemimpinan, hubungan kemanusiaan, pembinaan proses kelompok, bidang administrasi personel, bidang evaluasi.

b. Saran
Dengan adanya makalah ini diharapkan optimalisasi peranan kepala sekolah dapat dilakukan. Berbagai upaya dari pihak pusat juga sangat diharapkan, karena untuk mencapai tujuan administrasi dan supervisi pendidikan yang mumpuni perlu kerja dan daya usaha dari semua pihak yang meliputi semua unsur pendidikan.

DAFTAR PUSTAKA

Burhanuddin, Yusak. 2005. Administrasi Pendidikan. Untuk Fakultas Tarbiyah Komponen MPK. CV Pustaka Setia : Jakarta.

Purwanto, Ngalim. 2002. Administrasi dan Supervisi Pendidikan. PT Remaja Rosdakarya : Jakarta.

Suryabrata, Sumadi. 2007. Psikologi Kepribadian. PT Raja Grafindo Persada : Jakarta.

Minggu, Januari 03, 2010

Signifikasi pendekatan Pendidikan Islam Hassan Hanafi dan Nurcholis Madjid dalam konteks global maupun nasional

Salah satu faktor kegagalan pendidikan Islam adalah pendidikan Islam yang terlalu menitikberatkan pada hal-hal yang bersifat formal dan hafalan, bukan pada pemaknaannya. Penekanan lebih pada hubungan formalitas antara hamba dan Tuhannya. Pada saat yang bersamaan, Islam lebih diajarkan pada tingkat hafalan padahal Islam penuh dengan nilai-nilai yang mesti dipraktekkan. Pendidikan Islam di Bangka Belitung, bahkan yang lebih luas lagi yaitu Indonesia, metode pembelajaran agama Islam yang berkaitan dengan aplikasi nilai-nilai Islam pada tataran praktis kurang mendapat garapan. Sehingga tolak ukur pendidikan Islam juga masih bersifat formalistik dan verbalistik. Pendidikan Islam yang dikembangkan di sekolah dasar bahkan sampai perguruan tinggi masih bersifat indoktrinasi dan pemahaman nilai ala kadarnya daripada penumbuhan jiwa kritis dan pengembangan intelektualisme siswa. Sistem pendidikan Islam yang doktriner ini akan melahirkan peserta didik yang parsial. Karakter yang muncul sebagai hasil sistem yang seperti ini mungkin dapat disebutkan sebagai berikut:
a. Tidak memiliki kecerdasan intelektual dan spiritual karena hanya disuguhi aturan-aturan rigid yang mengikat. Sehingga pendidikan agama jauh dari intellectual exercise. Ia hanya akan menerima nilai-nilai yang mengandung unsur relativitas tanpa berusaha berpikir kritis.
b. Menjadi fanatik. Sehingga tidak memiliki pemahaman agama yang terbuka, toleran, dan inklusif. Sistem doktriner akan menumbuhkan kesetiaan secara taken for granted atas agama, konservatisme menjadi sangat kuat sehingga jauh dari jiwa pluralis dan kritis.
Sebagai bukti nyata dalam kehidupan sehari-hari, banyak ditemukan siswa kita di Bangka Belitung yang akrab dengan DVD porno, hamil di luar nikah, dan banyak lagi kasus-kasus yang mengindikasikan betapa rendah dan rapuhnya fondasi moral dan spiritual anak-anak didik. Hal ini tantangan bagi dunia pendidikan, khususnya pendidikan agama Islam yang erat kaitannya dengan penanaman dasar-dasar moral dan spiritual. Dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, pendidikan Islam kurang menggigit dalam tataran aksi sehingga pendidikan Islam dipahami secara parsial hanya hubungan hamba dengan tuhannya. Singkat kata mereka menjalankan nilai-nilai Islam hanya saat berada di masjid. Selain itu, fanatik suatu kelompok membuat timbulnya ekslusifitas pada masyarakat yang multi kultural.
Dua tokoh besar Filsafat Pendidikan Islam, Hassan Hanafi dan Nurcholis Madjid (Cak Nur) memberikan paradigma baru pendidikan Islam dalam menjawab tantangan kehidupan. Hassan Hanafi yang booming lewat proyek besarnya Al-turats wa tajdid (tradisi dan pembaharuan) menawarkan tiga agenda yang dapat menumbuhkan kembali semangat Islam, rekonstruksi tradisi lama, dialog dengan dunia barat, dan aksi dalam menghadapi realitas dan masyarakat kontemporer. Begitu juga dalam ruang lingkup yang lebih Indonesia, Nurcholis Madjid menawarkan pluralisme agama dan sekulerisasi. Pemikiran dua tokoh ini mempunyai pengaruh yang besar jika dikaitkan dengan wacana multikultural di Indonesia. Kita sendiri menyadari bahwa Indonesia terdiri dari keberagaman. Baik keberagaman suku, agama, ras, adat istiadat. Penyatuan formula Hassan hanafi dan Nurcholis madjid membuat suatu paradigma baru, wacana multikultral dalam aspek pluralisme.
Seperti agenda Hassan Hanafi, kita juga harus melakukan rekonstruksi tradisi lama. Pengenalan terhadap Sang Pencipta tidak hanya dilakukan dengan memikirkan Tuhan. Tanpa dibela Tuhan telah kuat, yang perlu dipahami adalah Islam memang agama Wahyu, namun tidak hanya dipahami sebagai realitas wahyu, tetapi juga realitas sosial. Islam hendaknya diterjemahkan lagi pada tataran rasional-proaktif. Islam yang tidak dapat memberi solusi kepada persoalan kemanusiaan tidak akan punya masa depan yang cerah. Islam harus membuka diri terhadap pluralisme dalam dimensi horizontal sehingga cita-cita utama kemanusiaan dapat diwujudkan, seperti emansipasi manusia dalam bingkai akomodasi antara pemikiran, keilmuan dan nilai-nilai universal Islam dengan pemikiran dan keilmuan barat, tanpa tercerabut dari nilai ajaran agama. Kita hendaknya membongkar kembali tradisi lama menjadi tataran yang lebih praktis, seperti masalah-masalah etika, kemanusiaan, sosial politik dan budaya. Sehingga eksistensi Islam dalam kehidupan dan lingkup dunia yang serba modern lebih mampu menghadapi berbagai persoalan kontemporer saat ini dengan cara dialog dengan seluruh lapisan dunia, baik barat, timur, Kristen, Islam, dalam tataran horizontal (kemanusiaan). Inilah yang dimaksudkan Cak Nur sebagai bingkai pluralisme, bukan pemahaman sempit tentang pluralisme bahwa semua agama itu sama. Pendidikan Islam hendaknya progresif (menerima modernitas) barat tidak dilihat sebagai ancaman, tapi reinventing Islam untuk meluruskan modernitas barat, membuka peluang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan cara pemahaman Islam yang terbuka, toleran dan inklusif.
Untuk dapat melakukan revolusi teologi ke tataran yang lebih praktis, perlu adanya penulusan-penulusan sejarah dari sejak zaman Rasulullah SAW, khalifah Ar-rasidin, para sahabat, masa keemasan, masa kemunduran, masa resainnance, sampai masa sekarang. Dengan demikian, maka aspek sosiologis dan psikologis dari masing-masing masa dapat ditemukan untuk membangun kembali menjadi formula yang lebih aktif. Umat beragama mesti meninggalkan model dan karakter pemikiran terhadap persoalan horizontal secara ekslusif menuju suatu pemikiran yang inklusif dan harmonis. Di era modern sebagaimana saat ini, dengan adanya membuka diri terhadap kultur yang dibangun oleh pemeluk lintas agama dan tetap mempertahankan substansi ajaran Islam, seseorang akan menjadi kritis baik dalam filsafat, membangun budaya, dan lain-lain. Pemahaman ini penting untuk membangun kebersamaan dan keharmonisan dalam dinamika kehidupan. Namun, kebebasan berfikir dan berkarya hendaknya dilakukan dengan tetap mengacu pada kaidah ajaran Islam. Modernitas (teknologi dan sebagainya), ilmu, tradisi, keyakinan bukanlah suatu hal yang dikotomis. Justru jika dikolaborasi sesuai dengan nilai-nilai Islam akan dapat ditemukan suatu formulasi pendidikan masa depan yang lebih bermakna. Melalui pendidikan yang integralistik dalam mencermati wacana multikultural dalam bingkai pluralisme, pendidikan Islam telah mampu menjadi subjek peradaban dan bukan menjadi objek yang sekedar “pembebek” perkembangan zaman.
Konsep Islam nasionalis (Islam Al Watani) sangat tepat diterapkan di Indonesia. Islam nasionalis adalah Islam yang membela kepentingan nasional, memelihara persatuan dan kesatuan territorial dari ancaman disintegrasi dan sektarianisme. Konsep Islam nasionalis berbentuk solusi rasional problem umat Islam, seperti keadilan sosial, lintas etnik, toleransi beragama, membangun etos kerja yang baik, menolak penjarahan tanah, dan praktik kekerasan berdarah. Inilah Islam modern yang memberikan penafsiran baru terhadap teks-teks ajaran Islam hingga mampu menghadapi tantangan modernitas, tanpa harus taklid pada barat dan juga ulama klasik Arab. Islam seperti inilah yang mendorong bangkitnya budaya nasional serta melestarikan identitas bangsa Indonesia. Islam yang dibutuhkan bukan Islam yang konservatif yang hanya terbuai dengan syiar-syiar agama dan bukan pula sekuler barat yang belum tentu cocok dengan budaya bangsa Indonesia. Yang dibutuhkan Islam dan Indonesia sesungguhnya sama, yaitu memelihara dua legitimasi dalam satu waktu, yakni territorial dan identitas budaya, serta nasionalisme dan khasanah warisan di satu sis dan legitimasi modernitas yang ditandai dengan keterbukaan, kebebasan, keadian, supremasi hukum di sisi lain.